FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
ROY Suryo cs masih membara membuktikan ijazah Jokowi 99,9 persen palsu. Walau sudah tersangka, diusir Prof Jimly, “Mane duli” kata orang Sanggau Kalbar.
Geng Termul tak kalah menyala menyakinkan publik ijazah Pakdhe 100 persen asli. Sampai ada mau telanjang segala, mane duli. Ntah sampai kapan drama ini kelar? Mungkin sampai kiamat dua dua hari. Lantas, apa yang terjadi bila ijazah ayah Gibran itu terbukti palsu? Apa konsekuensinya?
Sambil menunggu azan Jumat, yok kita kupas isu yang terus membuat negeri ini panas. Tentunya sambil seruput Koptagul agar otak selalu encer dan waras, wak!
Kita bahas seandainya ijazah Jokowi terbukti palsu, tapi bukan dengan gaya akademik yang sopan. Kita bahas dengan gaya orang Pontianak yang baru saja melihat keadilan jatuh dari motor tanpa helm.
Nuan bayangkan, wak. Suatu pagi bangsa ini bangun, ayam belum sempat berkokok, tapi tiba-tiba muncul pengumuman bahwa ijazah presiden, dokumen suci nan mulia yang seharusnya dijaga seperti pusaka kerajaan, ternyata palsu.
Bukan abal-abal ecek-ecek, tapi palsu yang kalau dipindai barcode-nya mengarah ke nomor WA tukang stempel di Pasar Pramuka. Di detik itu juga, filsafat hukum langsung bangun dari kubur Plato dan bertanya, “Negara macam apa ini?”
Secara pidana, hukum sebenarnya tenang saja. KUHP sudah siap, seperti harimau yang lapar sejak Orde Lama. Pemalsuan dokumen? Ada pasalnya. Penggunaan dokumen palsu? Ada juga. Pembuatnya bisa dipenjara, penyerahnya kena, penggunanya apalagi. Penyidik tinggal ngumpulin unsur-unsurnya, alat bukti, motif, pelaku, dan mungkin juga saksi yang sedang bingung kenapa dirinya ikut terseret.
Kalau benar palsu, ya proses pidana berjalan. Tapi yang bikin republik ini gemetar bukan itu, wak. Yang bikin gemetar adalah efek domino politiknya, domino raksasa yang kalau jatuh, bisa bikin seluruh republik masuk drama Korea 500 episode tanpa jeda iklan.
Partai pengusung akan jadi sorotan pertama. Publik bakal menuntut klarifikasi sambil bertanya dengan nada sinis, “Waktu verifikasi itu kalian pakai mata atau pakai feeling?” KPU pun ikut kena tabok kanan-kiri.
Mereka punya kewenangan verifikasi syarat pencalonan, lho. Kalau ternyata kecolongan, itu bukan lagi kelalaian, itu trending topic nasional dengan judul “Verifikasi Rasa Permen Karet: Kunyah Sebentar, Buang”. DPR mungkin akan memanggil semua yang bisa dipanggil, dari komisioner sampai juru parkir, hanya untuk menanyakan “ini ijazah dicek pakai apa?”
Mahkamah Konstitusi juga tak bisa leha-leha. MK memang tak bisa tiba-tiba memutuskan seluruh produk pemerintahan batal demi hukum, karena kalau begitu, besok pagi negara bubar seperti kerupuk direndam air panas. Ada doktrin kepastian hukum, kontinuitas negara, dan prinsip bahwa kebijakan publik tidak boleh tenggelam hanya karena seseorang memalsukan selembar kertas.
So, meskipun legitimasi politik bisa terkapar, keputusan negara tetap berdiri. Hukum itu kadang seperti ibu-ibu kompleks, dia bisa marah besar sama anaknya, tapi rumah tidak akan dibakar.
Eeh tapi wak… yang lebih pedas justru bagian diplomasi. Negara-negara tetangga mungkin akan menahan tawa, lalu bertanya lembut, “Kamu baik-baik saja? Perlu bantuan bikin sistem verifikasi?” Perjanjian internasional memang tetap sah, karena pihaknya negara, bukan orang.
Tapi reputasi? Kredibilitas? Itu bisa ambruk seperti lemari tua digigit rayap enam bulan. Nama Indonesia bisa masuk jurnal internasional bukan karena inovasi teknologi, tapi karena skandal dokumen nomor satu Asia Tenggara.
Lalu muncul pertanyaan paling filosofis, “Kenapa pemerintah sepertinya melindungi kasus ini pakai segala cara?” Wak… masuk akal betul. Karena kalau benar terbukti palsu, itu bukan sekadar skandal politisi. Itu bom atom administrasi negara.
Bisa menggulung partai pengusung, KPU, MK, Mendagri, perguruan tinggi, hingga mengganggu hubungan bilateral. Negara mana pun akan panik. Ini bukan masalah reputasi seorang manusia, ini masalah stabilitas struktur kekuasaan dari atap sampai fondasi.
Tapi hukum tetap hukum. Dia harus bekerja, meski pelan, meski dibentak-bentak publik. Audit forensik tetap harus dilakukan, penyidikan tetap harus berjalan, bukti harus diuji di pengadilan. Hukum mungkin nggak bisa menurunkan gunung, tapi dia bisa menjatuhkan seseorang yang memalsukan selembar ijazah.
Negara tetap berdiri, produk hukum tetap berlaku, rakyat tetap makan pajoh sambal belacan, tapi orang yang bermain-main dengan dokumen negara? Itu nasibnya bisa berakhir membaca KUHP dari balik jeruji.
Begitulah wak. Filsafat hukumnya sederhana, negara tidak akan tumbang hanya karena satu ijazah, tapi manusia yang salah urus ijazah itu bisa tumbang tujuh kali. Kita hidup di republik yang kadang serius, kadang lucu, kadang bikin kita ingin ketawa sambil marah.
Tapi justru itu yang membuat kita tetap betah di sini, betah menyimak drama politik sambil seruput koptagul panas-panas, berharap suatu hari nanti lembar demi lembar keadilan tidak lagi dicetak di atas kertas fotokopian.
“Bang, kalau nanti terbukti asli, apa juga konsekuensinya?”
“Kalau asli, semua aman. Kecuali, tujuh orang yang ditetapkan tersangka itu, bakal nerima konsekuensinya. Gitu, wak.”
#camanewak
