Bulutangkis Kita Tersenyum Lagi Lewat Jonatan Christie

FOTO : Ilustrasi [ Ai]

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

LAMA sekali tak menulis bulutangkis. Merasa tergerak setelah tahu di Denmark Open, ada juga pemain kita juara.

Dialah Jonatan Chistie, dan tepuk bulu kita pun mulai tersenyum lagi. Simak narasinya sambil seruput kopi sedikit susu, wak!

Di saat sebagian anak muda masih sibuk mencari sinyal kehidupan dan saldo e-wallet yang tersesat, Jonatan Christie justru sibuk mengumpulkan gelar, bukan gala dinner. Tahun 2025 ini, Jojo sudah memeluk dua trofi besar, Korea Open dan Denmark Open, seolah dunia bulutangkis adalah taman pribadinya.

Sementara orang lain sibuk cari diskon di marketplace, Jojo malah membanting lawan di lapangan dengan keanggunan seorang penyair yang memegang raket.

Denmark Open 2025 menjadi kisah heroik yang layak ditulis di kitab suci olahraga. Di final, Jojo melawan Shi Yu Qi, pemain yang konon katanya bisa menebak arah shuttlecock sebelum dipukul.

Tapi di tangan Jojo, semua teori telepati itu ambyar. Ia kalah di gim pertama 13–21, tapi seperti naga yang bangun dari tidur siangnya, Jojo bangkit di dua gim berikutnya 21–15 dan 21–15, membuat dunia berteriak, “Oh ini rupanya pahlawan bulutangkis sejati!”

Gim pertama itu seperti babak gelap dalam sinetron kehidupan, kalah, terpojok, dan tampak tidak punya harapan. Tapi Jojo bukan protagonis murahan. Di gim kedua, dia berubah jadi mesin ketenangan, smash-nya seperti petir yang menolak kompromi. Sementara Shi Yu Qi mulai goyah, mungkin pikirannya sudah tersesat ke aplikasi pesan hotel untuk pulang cepat ke Beijing.

Di gim ketiga, Jojo tampil seolah sedang menulis puisi di atas net, lembut tapi mematikan, anggun tapi membinasakan. Setiap poin diraih dengan aura mistik khas pendekar Jawa yang sedang bertapa di Gunung Smash.

Yang membuat cerita ini makin epik adalah bagaimana Jojo tak sekadar menang, tapi menang dengan gaya. Lihat saja ekspresinya, tenang, cool, tak ada drama lebay. Mungkin kalau Jojo jadi pemeran film laga, ia tak perlu stuntman, karena tiap loncatannya sudah sinematik. Bahkan shuttlecock pun mungkin malu dipukul karena sadar sedang jadi bagian sejarah.

Kini peringkat Jojo di dunia adalah nomor 6. Ya, nomor enam dari seluruh umat manusia yang bisa memegang raket. Bayangkan itu! Di antara tujuh miliar orang di bumi, hanya lima manusia yang bisa mengalahkan Jojo, dan itu pun mungkin sedang tidak beruntung waktu undian grup. Dengan dua gelar besar tahun ini, poinnya sudah menembus 75.144, angka yang bahkan ATM kebanyakan orang tidak pernah lihat kecuali dalam mimpi.

Perjalanan Jojo di Denmark Open juga bukan perjalanan biasa. Dari babak 32 besar, ia menumbangkan Kenta Nishimoto seperti menepis lalat di atas kopi sore. Di semifinal, Alex Lanier dari Prancis dijadikan tontonan edukatif tentang bagaimana kesabaran dan ketepatan adalah pasangan ideal dalam bulutangkis. Lalu di final, Jojo menutup semuanya dengan plot twist yang bahkan penulis drama Korea akan iri melihatnya.

Jojo kini bukan sekadar atlet. Ia sudah jadi ikon kebangkitan, simbol kesantunan yang bertenaga, ketenangan yang menggulung badai. Ia bukan hanya mengangkat raket, tapi juga harga diri bangsa. Dari lapangan hingga podium, Jojo menunjukkan, kerja keras, disiplin, dan keringat bisa mengalahkan mitos dan mesin dari negeri mana pun.

Kalau ada yang masih meragukan Jojo, biarlah shuttlecock yang berbicara, karena di tangan Jonatan Christie, bulu angsa pun berubah jadi senjata pamungkas yang menembus batas langit dan logika. Bangsa ini boleh sibuk debat receh di medsos, tapi Jonatan Christie sibuk menulis sejarah.

Dengan raket di tangan kanan dan semangat di dada, Jojo telah menegaskan satu hal, di dunia bulutangkis, Indonesia bukan hanya legenda, tapi terus jadi berita utama.

#camanewak

Share This Article
Exit mobile version