Ketika Semua Bisa Di-86-kan

FOTO : Dr. Rosadi.Jamani (ist)

Oleh : Dr. Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)

ADA ungkapan terkenal, kalian juga biasa membacanya. Seorang presiden ingin mengecat istananya agar terlihat kinclong. Dibuka tender secara terbuka. Kontraktor China ngajukan nilai proyek 3 miliar. Kontraktor Amerika 5 miliar. Kontraktor lokal 10 miliar.

Presiden heran, kok beda-beda. Ia pun bertanya. “Hei, Aseng kenapa hanya 3 miliar? Tolong jelaskan!” Si Aseng menjelaskan, satu miliar untuk beli bahan, satu miliar untuk upah pekerja, satu miliar lagi untuk profit. Presiden mengangguk-angguk.

“Lho, Mr Sam, bisa dijelaskan kenapa sampai lima miliar!” tanya presiden ke kontraktor asal Amerika.

“Satu miliar untuk beli bahan, dua miliar untuk upah pekerja, dan dua miliar profit,” jawabnya. Presiden menganggukan kepala.

“Lho, Amat, kenapa sampai 10 miliar. Apa tidak salah sebesar itu,” tanya presiden ke kontraktor lokal.

“Tiga miliar untuk fee Bapak, dua miliar untuk profit saya. Lima miliar untuk kontraktor dari teman kita asal China dan Amerika. Biarkan mereka mengerjakannya dijamin berkualitas hasil catnya nanti,” jawab Amat sambil senyum.

Dengar penjelasan ini, presiden langsung memilih kontraktor lokal. Soal kontraktor Cina dan Amerika biar diurus si Amat, dan semua kebagian. Kira-kira cerdas ndak di Amat itu?

Seperti ngarang ya, tapi realitasnya demikian dalam dunia nyata. Semua harus kebagian agar aman damai.

Kebetulan ada kawan kontraktor bercerita soal tender. Sambil ngopi ia bercerita. Dalam bayangan orang luar, yang namanya tender, pemerintah mencari tawaran terendah. Misalnya, ada proyek Pemda bangun jembatan nilainya satu miliar. Ada lima kontraktor berminat. Proyek itu dilelang atau ditender secara terbuka.

Siapa yang menawar terendah, misal cukup 500 juta bisa bangun jembatan itu. Lalu, 500 jutanya kembali ke negara. Begitu umumnya orang memahami tender. Tidak demikian, kata kawan itu. Bukan tawaran terendah, melainkan gimana agar semua bisa dapat dari nilai satu miliar itu.

“Sayang dong harus kembali ke negara. Susah lho menganggarkan satu miliar itu. Jadi, pemenang bisa diatur dengan nilai tetap satu miliar. Yang dinyatakan kalah tetap dapat yang dikenal fee rekanan. Cukup ikut tender saja bisa dapat duit. Tak hanya fee rekanan, fee untuk owner, sampai tukang ketik ada bagiannya. Dari duit itu juga disiapkan biaya sosial bila ada gangguan saat proyek dilaksanakan.

Terakhir pengamanan konsultan pengawas, auditor baik internal dan eksternal. Semua bisa diatur dengan rapi. Apabila diperiksa, dijamin tak ada penyimpangan. Semua aman terkendali. Semua sesuai prosedur. Semua bisa menikmatinya. Begitu wak,” cerita kawan.

“Jangan heran, pegawai di dinas yang banyak proyeknya rata-rata lebih makmur dari dinas miskin proyek. Oh iya, soal commitment fee untuk owner atau atasannya owner dikasihkan dulu antara 10 sampai 15 persen. Duit itu pribadi kontraktor, bukan uang negara. Uang negaranya masih berupa angka. Negara rugi, belum ada kerugian, wong duitnya masih di kas bank daerah,” ujarnya sambil tertawa.

Apakah praktik di atas itu korupsi? Saya jawab, ya! Karena fee proyek atau uang ucapan terima kasih itu tak ada dalam bestek atau item anggaran. Itu namanya gratifikasi. Orang yang ngasih uang dan dikasih statusnya korupsi. Secara hukum begitu wak.

Cuma, praktiknya tidak dianggap korupsi. Karena, semua prosedur proyek dijalankan secara rapi dan mengikuti aturan. Tidak ada yang dilanggar. Coba saja laporkan ke kejaksaan bila ada proyek diduga menyimpang, ending biasanya 86.

“Kecuali, proyek itu fiktif. Itu tak ada ampunnya wak. Habis disikat jaksa. Kalau ada wujudnya, masih bisa didamaikan. Baru tiga bulan jalan aspalnya sudah mengelupas, bila dilaporkan, dijawab masih dalam tahap pemeliharaan. Kontraktor segera perbaiki.

Bila ada penyimpangan, kontraktor bisa mengembalikan uang kerugian ke kas negara. Banyak cara untuk meredamnya. Kalau kontraktor yang sudah piawai, urusan begitu mah kecil. Karena, ia punya jaringan dan back-up kuat dari kepala daerah dan aparat,” tambah kawan lagi sambil seruput kopi.

Lihat fakta persidangan kasus megakorupsi BTS Kominfo. Mulai dari menteri sampai anggota BPK terlibat dan kecipratan commitment fee. Bukan ratusan juta wak, melainkan puluhan sampai ratusan miliar. Ini bukan lagi ucapan terima kasih, tapi garong. Tukang periksa keuangan saja dapat jatah, memang sudah parah.

Ketika semua bisa di-86-kan, apalagi banyak orang dalam (ordal) di mana-mana, mau apa lagi wak. Korupsi mau diberantas sampai ke akar-akarnya, kata Prabowo, apakah bisa. Bisa diucapkan, tapi praktiknya sangat susah. Kadang yang teriak-teriak antikorupsi, esok lusa ditangkap KPK.

Itu tadi prinsipnya, ketika semua menikmati dari tukang ketik sampai top leader, konsultan pengawas, auditor, LSM, aparat, media, bisa diamankan, mau apa, ayo! Tinggal menyaksikan betapa uang rakyat dihamburkan hanya untuk mengisi kantong orang-orang rakus.

Tak peduli proyek itu berkualitas atau tidak. Sing penting proyek jalan, semua bisa menikmati. Selesai.

 

 

#camanewak