FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
ADA hari-hari tertentu dalam hidup ketika alam merasa bosan melihat kekacauan intelektual manusia, lalu memutuskan, “Udah lah, aku turunkan empat profesor ke Kalbar, biar otak-otak ini kembali hidup.”
Itulah yang terjadi di Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat (UNU Kalbar). Kampus yang biasanya tenang-tenang jak, tiba-tiba meledak wibawa akademiknya macam pawai cap go meh, tapi versi ilmiah.
Tanggal 18 November 2025, aula megah Dr HM Zeet Hamdy Assovie MTM yang biasanya cuma dipakai buat acara resmi, mendadak berubah jadi panggung Marvel ilmiah. Empat profesor bukan hanya hadir, tapi memancarkan aura masing-masing.
Yang bawa kurikulum, ada. Yang bawa ilmu bahasa Arab, ada. Yang bawa syair gulung macam gulungan takdir, pun ada. Yang paling tinggi dari semuanya, sang Rektor, hadir dengan tatapan “aku tahu kamu tak baca jurnal, tapi aku maafkan.”
Mari kita kenali mereka dari dekat, biar tak salah sebut gelar saat bertemu.
Pertama, Assoc Prof Dr H Sugiatno M Pd. Orang yang kalau bicara kurikulum, kertas silabus pun berdiri hormat. Ia meneliti Kearifan Lokal Kalbar, mengubah tradisi lisan jadi pedoman belajar, seakan syair kampung lebih sakti dari modul kementerian.
Ia juga menguatkan literasi guru perbatasan. Menurutnya, guru di perbatasan itu bukan tenaga pendidik, tapi garda peradaban yang kadang gajinya bikin meneteskan air mata.
Lanjut ke Assoc Prof Dr Rahmap M Ag. Sosok yang hobi menciptakan kata baru dalam Bahasa Arab seakan sedang meng-update patch linguistik dari langit. Penelitiannya di Ma’had al-Jami’ah tentang membaca dan menulis Alquran itu serius, tapi aura humornya, “Kalau pelajar bisa baca Quran dengan baik, mungkin bisa juga baca caption IG tanpa salah paham.”
Lalu datang Assoc Prof Dr Basuki Wibowo M Pd. Penjaga syair gulung. Peneliti yang yakin, puisi bukan hanya karya sastra, tapi alat mitigasi bencana. Kalau orang lain pakai aplikasi peringatan gempa, Basuki percaya syair bisa lebih cepat menggerakkan hati warga Ketapang untuk lari ke tempat aman. Selain itu, ia mengubah benda cagar budaya jadi potensi ekonomi kreatif, startup versi batu-batuan kuno.
Di puncak tertinggi rombongan berdirilah Prof Dr Arief Sukino M Ag. Sang komandan, imam besar UNU Kalbar, sekaligus pengembara intelektual yang lahir di STAIN Pontianak, ditempa di IAIN Walisongo, lalu berguru di UIN Sunan Kalijaga.
Ia meneliti madrasah perbatasan sebagai benteng identitas, karena di daerah itu, budaya bisa hilang dalam semalam jika tak dijaga. Ia pun meneliti Adversity Quotient siswa, memastikan mental baja lebih penting dari sekadar ranking kelas.
Sekarang kita bongkar sedikit jabatan Associate Professor ini.
Dalam jagat akademik, Assoc. Prof itu posisi di tengah-tengah. Lebih tinggi dari Lektor, tapi belum sampai kemuliaan surgawi Guru Besar. Setara dengan Lektor Kepala, hanya saja kalau pakai istilah itu, kampus bisa disangka punya stasiun kereta.
Untuk mencapai level ini, seseorang harus berjuang keras. Doktoral ditamatkan, jurnal bereputasi ditaklukkan, pengabdian masyarakat dikerjakan, dan kum dikumpulkan macam koin dalam game RPG.
Kalau mau diistilahkan, “Assoc. Prof itu jabatan yang gelarnya panjang, tapi kalau mau ambil keputusan tetap harus bisik-bisik dulu ke Profesor.”
Kalbar kini punya empat profesor di kemudi UNU. Apakah ini awal kebangkitan? Atau tanda bahwa ilmu pengetahuan akhirnya bosan tidur? Yang jelas, barisan ini bukan main-main. Ini rombongan ilmuwan yang kalau lewat, jurnal pun bergoyang.
Kalbar, siap-siap. Para Assoc. Prof sudah turun gunung. Sang Prof memimpin barisan dengan langkah yakin, macam mau mengetuk pintu masa depan.
#camanewak
