Wartawan Diamplopin Sepuluh Ribu

FOTO : Rosadi Jamani (Ist)

Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, Dr Rosadi Jamani

SEJATINYA wartawan itu dilarang terima amplop beserta isinya. Untuk menjaga independensi. Sejatinya begitu.

Fakta di lapangan berbicara lain. Pada 17 September lalu, ada kejadian yang viral. Terjadi di Desa Kronjo Tangerang Jabar.

Saat itu ada Musrenbangdes. Banyak wartawan datang. Usai acara, niat baik Kades ngasih wartawan yang hadir masing-masing selembar amplop.

Pada senang awalnya. Begitu dibuka, isinya cuma Rp 10 ribu alias ceban. Awalnya senang lalu berubah marah. Bahkan, saking marahnya mereka videokan kemarahan itu, lalu di-upload di medsos. Viral.

Ini yang mau saya bahas. Soal wartawan, sang penyaji informasi dan fakta. Benarkah wartawan harus dikasih amplop setiap ada kegiatan? Kalau dikasih, berapa nominalnya? Menarik ya dibahas.

Wartawan itu setengah artis. Kadang dicari dan dijadikan teman oleh mereka yang ingin terkenal. Kadang dimusuhi oleh mereka yang tak ingin aibnya terbongkar.

Tak hanya dimusuhi, bila perlu nyawa wartawan itu dihabisi. Nasib wartawan dari dulu tak berubah, begitulah. Kadang dicari, kadang dimusuhi. Benar begitu?..lanjut sambil nonton Timnas vs Kirgistan ya..!

Wartawan itu bekerja di sebuah perusahaan pers. Perusahaan itu yang menggaji atau menjamin kesejahteraannya. Gaji sesuai UMP, ada BPJS kesehatan dan keselamatan kerja, tabungan hari tua, jaminan karier, dan fasilitas lain. Itu bagi wartawan di bawah perusahaan pers yang sudah mapan dan besar.

Ia tak mikirkan lagi soal gaji, karena sudah terjamin. Tak mikirkan lagi soal amplop, bahkan dianggap haram. Idealnya seperti ini wartawan. Gaji gede, untuk apalagi amplop isinya 10 ribu, hehehe.

Tapi, kalau isinya 10 juta, camanewak, mikir, hehehe.

Bagaimana dengan wartawan bekerja di perusahaan kecil. Dia wartawannya, dia redakturnya, dia juga pemprednya? Ada seperti ini, Bang? Ada, cuma dikit lah.

Maksudnya gini. Ada wartawan digaji di bawah UMP. Justru banyak tidak digaji. Perusahaan membebaskan wartawannya, “Pandai-pandailah di lapangan!” Model wartawan tanpa gaji inilah yang sering memburu amplop.

Tanpa diundang mereka datang ke sebuah even. Habis acara pura-pura wawancara, lalu minta amplop. Coba dibayangkan kejadian di atas, sekelas Kades mau dari mana nyiapkan uang untuk wartawan sebanyak itu.

Seandainya dikasih Rp100 ribu, wartawannya ada 20 orang, Kades harus nyiapkan Rp2 juta. Duit dari mana.

Kasihan Kades-nya. Untung ada niat baik Kades hanya mampu ngasih ceban. Dikasih banyak, tak berduit. Dikasih dikit, marah.

Gimana kalau tak dikasih sama sekali. Pasti lebih marah lagi. Padahal, mereka tak diundang lho.

Wartawan dari media resmi, biasanya menghindari amplop. Biasanya ya…hehehe.

Artinya, selesai acara mereka tak menunggu harus dapat amplop dulu dari panitia. Selesai, mereka kembali ke kantor. Kalau acara seremonial, mereka datang kalau ditugaskan oleh kantornya.

Kalau tidak, mereka tak akan datang. Berbeda dengan wartawan yang mengharapkan gaji dari amplop. Di mana pun ada acara resmi, tanpa diundang mereka selalu ada. Di hotel paling sering.

Mereka berkerumun menunggu sang pejabat dan panitia untuk diwawancarai. Makin siang gratis, habis itu ngincar amplopnya. Panitia bila tidak paham soal ini pasti dibuat repot oleh banyaknya wartawan tak diundang. Tak dilayani salah, tak didulikan mereka bisa protes. Kadang serba salah.

Keluhan paling banyak dirasakan oleh pejabat seperti kepala dinas, kepala kantor, kepala badan, kepala sekolah, rektor, kepala KUA, dan kepala-kepala lainnya saat musim Idulfitri dan Natal.

Mereka sering didatangi wartawan dalam jumlah ramai. Pura-pura ingin wawancara padahal motifnya ngincar amplop. Bagi yang sudah siap, tak masalah. “Anggap saja bagi rezeki,” kata seorang kepala sekolah. Bagi yang tak siap amplop, kadang kasihan juga.

Terpaksa minta ke bendahara mencarikan celah dana. Kalau datang satu dua orang masih bisa dilayani, berbeda kalau yang datang dalam jumlah ramai. Anehnya, mereka datang hanya di momen itu mau ketemu para kepala.

Bagaimana cara menghadapi wartawan pengincar amplop itu? Persoalannya ada di komunikasi. Jangan pula untuk menghindar, hadapi saja dengan santun.

Kalau memang tak punya kemampuan untuk memberi amplop, bilang saja terus terang. “Maaf, kami tak punya kemampuan menyediakan dana untuk bapak-bapak!” Diajak makan siang kalau memang tersedia.

Kalau memang ada kemampuan, tak ada salahnya juga disiapkan secara wajar. Paling tidak kisaran antara 50 – 100 ribu. Mau lebih juga boleh.

Diserahkan secara baik-baik. Kalau tak ada kemampuan, jangan pula dipaksakan. Ini kalau untuk acara seremonial atau jelang Idulfitri dan natal.

Berbeda apabila kasus yang menimpa seorang kepala. Misalnya dugaan korupsi, skandal perselingkuhan, dll. Ini lain kasusnya. Ada wartawan yang bisa disogok agar tutup mulut. Ada juga yang tak mau.

Tak mau bisa saja karena tawaran uang tutup mulut kecil, atau tak mau karena menjaga independensi. Tak mau publish bisa juga karena teror, ancaman, bahkan persekusi. Di sinilah kredibilitas seorang wartawan dipertaruhkan.

Sangat susah mencari tips menghadapi hal seperti ini. Para kepala yang memang terbukti punya aib akan kebingunan menghadapi wartawan. Bisa dengan menyuap wartawan, bisa gunakan preman, bisa gunakan ancaman dan teror, bisa juga pasrah.

Pasrah tak bisa lagi ditutupi karena ada yang lapor polisi. Kalau sudah dilaporkan ke polisi, sangat berat minta wartawan agar tak memberitakan. Tinggal pasrah dan bersiap menghadapi pemberitaan di semua media.

Saran saya, wartawan jangan dimusuhi. Jalin saja komunikasi yang baik. Bila perlu terjalin persahabatan akrab. Bila ada acara makan baik pribadi maupun kantor, undanglah wartawan.

Saran juga buat wartawan, jangan mencari keuntungan bila ada kasus. Bila memang layak diberitakan, beritakan saja agar tak dicontoh orang lain. Hindari upaya memeras orang yang lagi kesusahan.

Itu saja sih wak. Boleh diikuti atau tidak diikuti pun tak masalah. Lanjut kita nonton Timnas vs Kirgistan.

#camane wak