Atasi Gas Rumah Kaca Dirjen Hubdat Dorong Kendaraan Listrik Sebagai Solusi

Jakarta, radar-kalbar.com- Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi menghadiri FGD mengenai Dampak Kebijakan Harga Terkait Sektor Transportasi Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. FGD tersebut diadakan oleh Institut Transport & Logistik (ITL) Trisakti bekerja sama dengan Initiative for Climate Action Transparency (ICAT) pada Rabu (18/9) di Auditorium Institut Transport& Logistik (ITL) Trisakti Jakarta.

Dalam kesempatan ini Dirjen Budi menyatakan bahwa dampak emisi gas rumah kaca salah satunya muncul karena kendaraan yang berbahan bakar fosil. Oleh karenanya, menurut Dirjen Budi program kendaraan listrik adalah salah satu contoh program transportasi berkelanjutan yang dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.

Mengenai kebijakan kendaraan listrik yang diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden (PERPRES) no 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, Dirjen Budi berpendapat bahwa, “Yang terpenting bagi kita adalah menyampaikan pesan pada masyarakat bahwa kendaraan bermotor yang kita pakai sekarang ini, cepat atau lambat kualitas bahan bakar kita nantinya harus menyesuaikan Euro 4 sesuai dengan alat pengujian yang kita punya karena sudah berstandar Euro 4. Oleh karena itu harus dipikirkan bagaimana kita meninggalkan bahan bakar yang menggunakan fossil tadi. Bahan bakar fossil berdampak pada kualitas udara yang semakin buruk. Sebagai bentuk komitmen dari Kementerian Perhubungan maka pada tahun 2020 diharapkan bus yang digunakan untuk sistem Buy The Service bisa menggunakan bus listrik,” jelas Dirjen Budi.

Sembari membacakan sambutan Menteri Perhubungan, Dirjen Budi menjelaskan, “Dalam konsep pembangunan berkelanjutan ditekankan bahwa tujuan pembangunan tidak semata-mata meningkatkan ekonomi tetapi juga harus memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan sosial budaya dan kualitas lingkungan. Salah satu isu lingkungan adalah terjadinya pemanasan global yang merupakan implikasi dari produksi gas rumah kaca. Kualitas udara ibukota Jakarta yang buruk sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan di masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang perlu diperbaiki antara kualitas hidup masyarakat yang meningkat dan menjaga bumi ini tetap baik di masa yang akan datang,” tambahnya.

Selain itu, Dirjen Budi meyakini bahwa perlu adanya sebuah sistem transportasi yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat. “Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2012, sektor transportasi mengonsumsi sekitar 20% dari total konsumsi energi nasional. Melihat hal tersebut perlu langkah-langkah nyata untuk menciptakan transportasi yang berkelanjutan. Pemerintah melalui Kemenhub berkomitmen untuk mewujudkan sistem transportasi yang aman, nyaman, dan selamat. Berkualitas baik untuk kepentingan dunia baik sekarang maupun kelanjutannya, dan juga transportasi yang berkelanjutan untuk anak cucu kita,” kata Dirjen Budi.

Mewakili pihak ITL Trisakti sekaligus peneliti, Elly Adriani Sinaga yang turut mengadakan asesmen terhadap dampak emisi gas rumah kaca dari penerapan kebijakan harga bahan bakar menyatakan, “Acara ini karena Trisakti diberi mandat oleh Badan Litbang Perhubungan untuk bergabung dengan research Initiative for Climate Action Transparency (ICAT),” urai Elly.

Dalam asesmen ini ada 3 kebijakan utama yang dipelajari yaitu:
1. Fuel pricing atau kebijakan harga bahan bakar bensin RON 88 dan solar.
2. Kebijakan Low Cost Green Car (LCGC)
3. Kendaraan listrik

“Jadi sebetulnya bahan bakar fosil memang memberikan emisi yang cukup besar. Indonesia sudah komitmen untuk menurunkan emisi 29% di tahun 2030. Jadi setelah kita cek dengan asesmen fuel pricing tadi memang betul, karena ada subsidi di diesel sehingga emisinya jadi besar sekali,” jelas Elly mengenai fuel pricing, yang menjadi salah satu hal yang dinilai dalam asesmen tersebut.

Sementara menurut Elly, kebijakan LCGC justru dianggap berkontribusi terhadap kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berkisar antara 10%-13% dibandingkan pada tahun 2013 sebelum adanya kebijakan tersebut.

Terkait kendaraan listrik, menurut Elly dengan kendaraan listrik ini benar kalau emisi 0% di jalan, namun emisinya juga harus dihitung sejak mulai dari power plantnya. “Karena kita menggunakan batu bara, yang bermasalah itu bagaimana dari tempat asalnya yaitu di power plant nya. Jadi kalau scenario kebijakan kendaraan listrik saat ini dilakukan secara konsistem dengan suplai energy listrik yang sama yaitu 70% energy fosil dan 30% energy terbarukan maka akan ada potensi penurunan emisi total sebesar -7,51% pada tahun 2035. Dan jika mampu mewujudkan suplai energy listrik dengan kompisis 50% energy fosil dan 50% energy terbarukan maka potensi penurunan emisinya mencapai -15,39% pada tahun 2035,” tambahnya.

Seiring dengan hal tersebut, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, Sugihardjo mengakui bahwa kondisi udara terutama akhir-akhir ini di Jakarta sudah tidak sehat.

“Kondisi kita sudah tidak sehat, oleh karena itu kita harus melakukan hal yang tidak biasa (untuk mencegahnya). Ada 2 program yaitu energy efficiency bagaimana kita mendorong sarana transportasi public dan yang kedua diversifikasi energy dengan bioenergy. Kalau efisiensi energi tadi sudah disampaikan Pak Dirjen, yaitu bagaimana kita menggunakan terobosan sarana publik jadi efisien. Kita sama-sama tahu kalau orang menggunakan kendaraan pribadi bukan hanya macet tapi juga dampak polusi, subsidinya juga terbuang di jalan. Dengan transportasi publik mengurangi kendaraan pribadi. Kemudian program-program yang berkaitan dengan traffic management. Kalau program ini efisien termasuk program ATCS, progressive movement itu kan mengurangi hambatan, dan memperlancar lalu lintas,” katanya.

Dalam acara ini turut hadir Rektor Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti Tjuk Sukardiman serta Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Ahmad Yani. (HS/PTR/EI).

 

 

 

 

 

Sumber : KEPALA BAGIAN HUKUM DAN HUMAS DITJEN PERHUBUNGAN DARAT

Endy Irawan