Rawon vs Kotak Kosong?

OLeh : Rosadi Jamani [Dosen UNU Kalbar]

HANTU kotak kosong bakal muncul di Pilgub DKI. Hampir seluruh parpol mengusung Rawon. Tersisa PDIP bak seorang jomblo.

Ketika pasangan Ridwan Kamil-Suswono, alias “Rawon,” dideklarasikan untuk maju dalam Pilgub Jakarta, hampir semua parpol berbaris rapi di belakang mereka.

Sementara itu, PDIP tampak seperti seorang jomblo yang ditinggalin gebetan di malam minggu—sendirian dan bingung mau ngapain. “Rawon” tampaknya akan melawan kotak kosong.

Karena, tidak ada pasangan cukup kuat yang bisa menantangnya. Pasangan Anies Baswedan-Rano Karno yang awalnya digadang-gadang PDIP dan PKB, justru ditinggal PKB. PDIP sendirian tak bisa mengusung pasangan Anies-Rano ini.

Jika Machiavelli bisa bangkit dari kuburnya dan melihat fenomena ini, ia mungkin akan tersenyum sinis dan berkata, “Inilah contoh sempurna dari seni berpolitik. Ketika penguasa menginginkan sesuatu, mereka tidak akan ragu menggunakan segala cara untuk mencapainya.”

Bagi Machiavelli, ini bukan lagi soal siapa yang terbaik untuk rakyat. Tapi, siapa yang bisa menguasai permainan.

Rawon, dengan dukungan hampir seluruh parpol, telah berhasil mengatur panggung politik seperti seorang maestro, meninggalkan PDIP sendirian dalam bayang-bayang.

Di sisi lain, Karl Marx mungkin akan menggeleng-gelengkan kepala sambil menyeruput kopi. “Ini hanyalah bukti lain dari bagaimana kekuasaan dan kapital berkolaborasi untuk memastikan status quo tetap bertahan,” katanya.

“Para politisi dan partai-partai ini hanyalah pion-pion dalam permainan kekuatan modal dan kelas penguasa.” Marx mungkin akan menggarisbawahi, dalam demokrasi yang sebenarnya.

Seharusnya rakyatlah yang memegang kendali, bukan segelintir elit yang menentukan segalanya di belakang layar.

Namun, dalam kenyataan politik, PDIP tampaknya harus puas menjadi penonton di drama besar ini. Sementara Rawon maju dengan dukungan penuh—meninggalkan PDIP bak jomblo yang tersisih dari pesta besar.

Marx mungkin akan melihat ini sebagai bukti bahwa “kotak kosong” adalah simbol perjuangan rakyat melawan hegemoni elite. Sementara Machiavelli akan menganggapnya sebagai langkah cerdas untuk memastikan tidak ada kejutan yang tidak diinginkan.

Apakah kita sedang menyaksikan drama politik yang cerdas ala Machiavelli atau hanya repetisi dari kritik tajam ala Marx? Mungkin keduanya.

Satu hal yang pasti, PDIP harus mencari cara untuk tidak hanya menjadi penonton di panggung politik Jakarta, karena “Rawon vs. Kotak Kosong” bukanlah sajian yang lezat untuk dinikmati sendirian.

Tenang, jalur kuning belum melengkung di KPU. Apa saja bisa terjadi. Bisa saja PDIP bisa melakukan rayuan maut ke kawan koalisinya agar bisa mengusung Anies-Rano.

Atau, nah ini atau ya, PDIP menjadi parpol terakhir ikut gerbong KIM plus yang siap juga mengusung Rawon.

#camenewak