Thailand Sahkan UU LGBT, Apa Pengaruhnya bagi Indonesia?

Oleh : Rosadi Jamani, Dosen Universitas Nadhlatul Ulama (UNU) Kalimantan Barat

ADA kawan berkata, “Kalau ke Thailand sangat susah membedakan, mana laki-laki dan perempuan.

Dikira cewek cantik, ternyata cowok.” Anggapan ini sangat umum. Istilah LadyBoy cukup terkenal di sana.

Wajar apabila Thailand menjadi surganya kaum komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

Pada 18 Juni 2024, negeri beribukota Bangkok itu mencatat sejarah sebagai negara pertama di Asia Tenggara melegalkan pernikahan sesama jenis.

Keputusan ini merupakan hasil dari persetujuan anggota parlemen terhadap RUU yang akan mengamandemen Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) Thailand.

UU ini akan mulai berlaku 120 hari setelah diumumkan dalam lembar keputusan kerajaan. Dengan adanya UU ini, Thailand menunjukkan kemajuan signifikan dalam hal pengakuan hak asasi manusia bagi komunitas LGBBT.

Sikap negara Gajah Putih itu seperti mengikuti pandangan masyarakat Eropa umumnya. Belanda dan Belgia, keduanya merupakan negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis sejak awal tahun 2000.

Meskipun hubungan ini disetujui oleh masyarakat luas, pernikahan sesama jenis di sana tidak melibatkan upacara keagamaan yang mengikat pasangan tersebut.

Kemudian, Jerman sejak tahun 2017 resmi mengesahkan pernikahan sesama jenis setelah keputusan Mahkamah Konstitusi.

Disusul Estonia, negara ini belum mensahkan pernikahan sesama jenis, tetapi secara hukum mengakui pernikahan sesama jenis yang dilakukan warga negaranya di negara lain.

Pada 21 Juni 2023, Estonia menjadi negara pertama di Eropa Tengah yang melegalkan pernikahan sesama jenis.

Di sisi lain, Indonesia yang juga berada di kawasan Asia Tenggara, memiliki situasi berbeda terkait komunitas LGBT. Indonesia justru melarang keberadaan LGBT.

Walaupun kelompok ini memang ada, namun sering mendapatkan perlakukan diskriminasi. Bertingkah macam bencong saja di televisi, itu pun dilarang, apalagi sampai ada pernikahan sejenis.

Baiklah kita bahas dulu soal negeri yang dulunya disebut negeri Siam ini. Thailand dikenal sebagai negara yang relatif terbuka terhadap komunitas LGBT.

Berdasarkan survei global pada tahun 2021, hanya 70% responden di Thailand yang tertarik secara seksual kepada lawan jenis. Sekitar 3% responden menyatakan diri sebagai homoseksual (gay atau lesbian), 4% sebagai biseksual, dan 1% sebagai panseksual atau omniseksual.

Hal ini menunjukkan bahwa komunitas LGBT di Thailand cukup berkembang dan diterima dalam masyarakat.

Keputusan Thailand untuk melegalkan pernikahan sesama jenis tidak hanya menjadi tonggak penting bagi negara tersebut, tetapi juga bagi seluruh kawasan Asia Tenggara.

Legalitas ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi komunitas LGBT di Thailand, termasuk perlindungan hukum dan pengakuan sosial yang lebih baik.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, data tentang jumlah komunitas LGBT tidak pasti karena banyak kalangan yang belum terbuka mengenai orientasi seksual mereka.

Namun, terdapat peningkatan kelompok LGBT di daerah perkotaan seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Studi menunjukkan bahwa sekitar 3% penduduk Indonesia adalah kaum LGBT.

Mencari data akurat tentang populasi LGBT di Indonesia memang menantang. Hal ini dikarenakan masih banyak stigma dan diskriminasi yang dihadapi komunitas LGBT, sehingga banyak yang enggan terbuka tentang orientasi seksual mereka.

Beberapa penelitian dan survei telah dilakukan untuk memberikan gambaran tentang populasi LGBT ini. Survei Global 2021 menunjukkan bahwa sekitar 3% responden di Indonesia mengidentifikasi diri sebagai homoseksual, biseksual, atau panseksual.

Survei ini juga menunjukkan bahwa persentase responden yang tertarik secara seksual kepada lawan jenis di Indonesia adalah 70%, lebih rendah dibandingkan negara-negara Barat.

Kemudian, Studi Arus Pelangi tahun 2018 menunjukkan bahwa 10,2% responden di 13 kota besar di Indonesia mengidentifikasi diri sebagai LGBT.

Studi ini juga menemukan bahwa mayoritas responden LGBT di Indonesia tinggal di perkotaan, dengan persentase tertinggi di Yogyakarta (14,8%) dan Bali (12,5%).

Riset Saiful Mujani Research Center (SMRC) tahun 2020 menunjukkan bahwa 8,6% responden di Indonesia mengenal orang LGBT secara pribadi.

Riset ini juga menemukan bahwa 63,2% responden tidak setuju dengan pernikahan sesama jenis, 27,5% responden setuju, dan 9,3% responden tidak tahu atau tidak menjawab.

Meskipun demikian, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal penerimaan sosial dan hukum terhadap komunitas LGBT.

Banyak negara yang mengizinkan pernikahan sesama jenis, tetapi di sekitar 71 negara masih menganggap menjadi homoseksual sebagai kejahatan.

Sebagian besar negara dengan pandangan konservatif terletak di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia. Penerapan hukuman mati untuk aktivitas seksual sesama jenis juga masih mungkin di beberapa negara.

Pandangan masyarakat Indonesia terhadap LGBT bervariasi, namun ada beberapa temuan dari survei yang dapat memberikan gambaran.

Pertama, mayoritas masyarakat menerima hak hidup LGBT. Meskipun sebagian besar menganggap LGBT bertentangan dengan agama, 57,7% publik berpendapat bahwa LGBT memiliki hak hidup di negara kita. Hanya 41,1% yang berpendapat sebaliknya.

Kedua, sekitar 45% responden menyatakan bersedia menerima anggota keluarga yang berorientasi seksual LGBT. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada pandangan negatif, banyak orang akan menerima anggota keluarga yang LGBT.

Ketiga, generasi muda (usia 22 hingga 25 tahun) cenderung lebih ramah terhadap LGBT. Mayoritas dari mereka bersedia menerima keluarga yang LGBT dan menganggap

LGBT berhak hidup di Indonesia. Namun, perlu diingat bahwa pandangan ini dapat berbeda tergantung pada latar belakang budaya, agama, dan norma sosial individu.

Pengaruh UU LGBT

Pengesahan UU LGBT di Thailand dapat memberikan dampak signifikan bagi Indonesia. Tentu itu bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi kaum LBGT di negeri ini.

Keputusan Thailand dapat menjadi inspirasi bagi aktivis dan komunitas LGBT untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka.

Melihat negara tetangga yang berhasil melegalkan pernikahan sesama jenis dapat memberikan harapan dan motivasi bagi perjuangan mereka.

Selain itu, keberhasilan Thailand mungkin akan meningkatkan tekanan internasional terhadap Indonesia untuk memperbaiki perlakuan dan hak-hak bagi komunitas LGBT.

Organisasi hak asasi manusia internasional dapat menggunakan contoh Thailand sebagai tolok ukur untuk menilai kemajuan hak-hak LGBT di Indonesia.

Kemudian, keputusan ini juga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia terhadap komunitas LGBT.

Diskusi dan pemberitaan tentang legalitas pernikahan sesama jenis di Thailand dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat Indonesia mengenai hak-hak LGBT.

Semakin hari semakin banyak negara mengakui pernikahan sejenis. Berikut negara-negara yang sudah mengakui pernikahan tersebut, Belanda (2001), Belgia (2001), Spanyol (2005), Swedia (2009), Norwegia (2009), Portugal (2010), Islandia (2010), Denmark (2012), Prancis (2013), Luxembourg (2014), Inggris (2014), Irlandia (2015), Finlandia (2017), Austria (2019), dan Slovenia (2022).

Negara-negara tersebut telah membuktikan bahwa legalitas pernikahan sesama jenis dapat membawa perubahan positif dalam hal pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.

Kesimpulan

Pengesahan UU LGBT di Thailand adalah langkah besar menuju pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia bagi komunitas LGBT di Asia Tenggara.

Keputusan ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi Thailand, tetapi juga dapat memberikan inspirasi dan harapan bagi komunitas LGBT di Indonesia dan negara-negara lainnya.

Meski tantangan masih ada, perubahan sosial dan hukum yang terjadi di Thailand bisa menjadi pendorong bagi Indonesia untuk lebih terbuka dan menerima komunitas LGBT dalam masyarakatnya.

Dengan melihat perkembangan ini, diharapkan Indonesia dapat belajar dan mengambil langkah-langkah progresif untuk melindungi dan mengakui hak-hak komunitas LGBT di masa depan.*