KEBAYA diusulkan sebagai UNESCO Intangible Heritage atau Warisan Budaya tak Benda melalui mekanisme single nomination.

Gerakan ‘Kebaya Goes to UNESCO’ sejak Agustus 2022 sudah ramai disuarakan di linimasa media sosial maupun yang ditampilkan langsung pada sejumlah peringatan hari nasional maupun festival kebudayaan. Mulai dari sosok Ibu Negara Iriana Jokowi, para menteri perempuan Kabinet Indonesia Maju, pesohor Dian Sastrowardoyo, bahkan hingga para diaspora Indonesia di Washington turut mendukung penuh gerakan kebudayaan ini.

Ya, saat ini kebaya–salah satu busana tradisional perempuan Indonesia– tengah digaungkan untuk didaftarkan ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) agar tetap lestari dan mendunia. Langkah awal agar kebaya mendapatkan pengakuan sebagai warisan budaya dari Indonesia adalah dengan dukungan dari setiap elemen masyarakat.

Pemerintah sendiri sudah memutuskan agar kebaya diusulkan sebagai UNESCO Intangible Heritage atau Warisan Budaya tak Benda melalui mekanisme single nomination, tanpa melibatkan negara-negara lain dalam proses pengajuan.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam “Weekly Brief with Sandi Uno” di Jakarta, pada 28 November 2022, mengatakan bahwa keputusan pemerintah itu didasarkan dari hasil rapat lintas instansi dan wakil masyarakat. Tepatnya terdiri atas Komisi X DPR RI, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenko PMK RI, Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, dan Komunitas Kebaya.

“Jadi kebaya tidak lagi kita perlu perdebatkan. Ini tentunya budaya luhur milik anak bangsa dan telah diputuskan untuk menjadi single nomination. Dan tentunya kita akan mendorong dan menguatkan agar kebaya diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda milik Indonesia untuk kemajuan pergerakan ekonomi, dan juga terciptanya peluang usaha dan lapangan kerja bagi masyarakat kita dalam meningkatkan taraf hidupnya,” kata Menparekraf.

Inkripsi Kebaya sebagai Warisan Budaya tak Benda UNESCO sendiri dapat dilakukan melalui singlenomination dan multi-national (joint) nomination, seperti yang dilakukan oleh Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei. Di mana pada 23 November 2022 keempat negara itu mendeklarasikan kebaya untuk diajukan ke Intergovernmental Committee Intangible Culture Heritage and Humanity (IGC ICH) UNESCO dan mengajak negara-negara serumpun, termasuk Indonesia, untuk bergabung. Ajakan agar bergabung dalam joint multinational nominations sesuai dengan operational guideline UNESCO itu akan diajukan pada Maret 2023.

Akan tetapi, Indonesia memilih untuk menempuh prosedur single nomination. Mengingat saat ini Indonesia memiliki satu berkas aktif cycle yaitu Budaya Sehat Jamu yang akan dibahas dalam IGC ICH UNESCO di 2023.

Selain itu, masih ada tiga berkas nonaktif cycle (dokumen berkas pengusulan sudah diterima oleh ICH UNESCO, tapi belum masuk sebagai agenda pembahasan IGC ICH Meeting), yaitu Reog Ponorogo, Tenun, dan Tempe. Masing-masing pengajuan membutuhkan kurang lebih dua tahun sebelum diakui oleh UNESCO.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Menparekraf, single nomination tiap negara hanya memiliki kuota sebanyak satu budaya per dua tahun untuk mengajukan pencatatan kebudayaan nasional sebagai warisan budaya tak benda. Adapun joint nominations dapat diajukan oleh dua atau lebih negara secara bersama-sama kepada UNESCO setiap tahun sekali tanpa mengurangi kuota yang dimiliki negara tersebut.

Indonesia tidak hanya kaya akan alam yang indah tapi juga budaya serta tradisi. Sejak 2013, Kemendikbudristek mencatat Indonesia memiliki 1.528 warisan budaya tak benda yang bisa diajukan ke UNESCO. Dan jika semua diusulkan ke UNESCO dibutuhkan 3.000 tahun karena hanya bisa diakomodasi setiap dua tahun.

Sejauh ini, UNESCO terus mendorong agar setiap negara mengembangkan status dari warisan budaya tak bendanya, sehingga mereka berkembang dari status negara yang tadinya tidak memiliki kebudayaan yang bisa diangkat, menjadi negara yang berkembang dan cenderung menjadi negara maju.

Pemakaian kain kebaya memang kembali marak dalam beberapa tahun terakhir. Dulu, pakaian ini identik digunakan kaum perempuan pada acara-acara formal seperti pernikahan, adat, dan pemerintahan. Kini, busana kebaya bagi sebagian perempuan di perkotaan mulai menggeser pakaian ala barat dan muslim. Bahkan, anak-anak muda sudah biasa mengenakan kebaya di tempat-tempat umum, entah di mal, kafe, transportasi umum, kampus, dan perkantoran.

Tren kebaya semakin menjamur ketika sejumlah instansi pemerintah pusat dan daerah mewajibkan pegawainya menggunakan pakaian adat Nusantara pada hari tertentu. Kebaya sedang menemukan momentumnya.

Seberapa pentingnya pengajuan kebaya sebagai warisan budaya tak benda? Beberapa kalangan pegiat gerakan berkebaya memiliki pandangan tersediri. Indiah Marsaban, pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dan pegiat budaya, mengungkapkan bahwa asal-usul busana kebaya Indonesia pun masih diperdebatkan. Mengingat ada pengaruh dari Portugis, Arab, Tiongkok, dan budaya lainnya.

Di samping itu, posisi Indonesia yang strategis di jalur perdagangan terutama di Asia Tenggara hingga Timur Tengah, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pintu masuk berbagai kebudayaan yang dibawa oleh para pedagang asing. Termasuk, budaya berpakaian yang kemudian melebur dan beradaptasi dengan budaya lokal.

“Bahkan terdapat kemungkinan bahwa berbusana kebaya bisa dikategorikan sebagai ‘shared culture’ bersama-sama negara-negara serumpun di Asia Tenggara, meskipun memiliki detail yang berbeda,” ujar Indiah.

Oleh karena itu, menurut Indiah, narasi yang digunakan untuk mempromosikan tradisi kebaya Indonesia sebaiknya tidak “mendiskreditkan” negara lain atau mengklaim bahwa negara lain akan “mengambil” suatu elemen budaya dari negara yang merasa “memiliki” budaya tersebut.

“Terdaftar di UNESCO bukan berarti pengakuan hak eksklusif atau hak milik dari suatu elemen budaya dan bukan tentang orisinalitas atau otentiknya suatu elemen budaya. Melainkan mengandung makna, kontribusi elemen budaya tersebut pada nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan nilai-nilai universal untuk kemanusiaan,” jelas kontributor buku “Kebaya Melintasi Masa” tersebut.

Elemen keberlanjutan memang masih terlihat pada ciri-ciri kebaya modern di Indonesia. Ciri-ciri tersebut mudah dikenali, misalnya blus ketat yang menonjolkan torso wanita; leher lipat tanpa kerah dan bukaan depan; lengan panjang; dan jenis kain semi transparan. Gaya kebaya masa kini pun sudah bisa dikombinasikan dengan busana muslim dan celana jeans.

Gaya kebaya tersebut masih identik pada mode kebaya abad lalu yang dikenakan perempuan Jawa, Bali, Sumatra, maupun Sulawesi. Busana kebaya yang dulu didominasi perempuan bangsawan dan peranakan kini sudah dipakai oleh semua kalangan. Dengan begitu, perubahan drastis dari kebaya tidak terjadi dan ini menunjukkan pelestarian kebaya klasik terjadi hingga saat ini.