FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
DISCLAIMER : Ini hanya fiksi lagi nyantai di warung kopi. Kalau ada kesamaan nama, hanya ilusi. Siapkan kopi!
Warkop di pinggir pantai Ancol sore itu jadi tempat paling filosofis di dunia. Bukan karena suasananya tenang, tapi karena dua kepala sekolah yang pernah dipecat, difitnah, lalu dikembalikan jabatannya, sedang nongkrong di sana.
Mereka bukan sembarang orang, ini duet maut: Roni Ardiansyah, sang penegur anak wali kota, dan Dini Fitria, si penampar anak perokok. Kalau dunia pendidikan punya Avengers, dua orang inilah yang sudah mati, dikubur, lalu dihidupkan lagi pakai surat keputusan.
“Din,” kata Roni, meniup kopi seperti meniup masalah yang gak kelar-kelar, “aku tuh heran, kenapa aku dipecat cuma gara-gara ngelarang anak wali kota parkir mobil di sekolah.
Lha emang aku harus sambut dia pake karpet merah, pasang bunga, dan bilang ‘Selamat datang, Nyonya Muda, parkirlah di ruang kepala sekolah sekalian!’ gitu?”
Dini ngakak, nyaris keselek pisang goreng. “Kau masih untung, Ron. Aku dipecat karena tampar anak yang ngerokok. Lah, kalau gak kutampar, besok-besok mungkin dia jualan rokok di kantin. Padahal tamparanku itu tamparan edukatifz cuma satu kali, tapi penuh nilai Pancasila.”
Roni geleng-geleng. “Aku tuh kadang mikir, mungkin kita berdua ini bukan kepala sekolah, tapi tokoh sinetron yang disutradarai oleh Dinas Pendidikan. Episode pertama, ‘Kepsek Ditegur karena Menegur’. Episode kedua, ‘Tamparan Kasih Season Dua’. Ending-nya, diaktifkan kembali karena netizen ngamuk.”
Dini langsung ngakak lagi sampai air matanya keluar. “Betul! Sekarang nasib guru bukan di tangan gubernur, tapi di tangan kolom komentar!”
Roni menyeringai. “Waktu aku dicopot, murid-murid nangis, guru pada protes. Aku pikir, wah, ini solidaritas luar biasa! Eh, ternyata mereka nangis bukan karena aku pergi, tapi karena takut aku tak bisa nyanyi untuk mereka.”
Kopi mereka tinggal setengah. Tapi absurditas hidup masih penuh.
“Kau tahu, Din,” kata Roni sambil menatap laut, “setelah viral, aku dipanggil dinas. Mereka bilang, ‘Kami sudah evaluasi, dan Anda akan dikembalikan ke posisi semula.’ Aku tanya, ‘Kenapa?’ Mereka jawab, ‘Karena masyarakat sudah tenang.’ Lah, jadi jabatan kepsek ini kayak cuaca, nunggu reda dulu baru boleh kerja lagi?”
Dini menepuk dahinya. “Aku juga gitu! Katanya aku terlalu keras, padahal kalau gak tegas, sekolah berubah jadi warung kopi, bebas ngerokok. Aku cuma tampar sekali, tapi efeknya sampai Komnas Anak, Komnas HAM, dan Komnas Netizen.”
Mereka tertawa keras. Pengunjung warkop sampai nengok.
“Din,” Roni menatap serius, “kita bikin organisasi yuk. Namanya P2J, Persatuan Kepala Sekolah yang Pernah Dijegal.”
“Bagus!” seru Dini. “Aku sekretarisnya. Moto kita, ‘Demi Disiplin, Kami Siap Dipecat Kapan Saja.’”
Roni menambahkan, “Visi kita: Mendidik bangsa sambil waspada terhadap anak pejabat.”
Dini menyambar, “Misinya, Menegur dengan sopan, menampar dengan kasih, dan viral dengan terencana!”
Tawa mereka makin pecah. Seekor kucing lewat, melirik sinis seperti mau bilang, “Manusia makin lucu. Wong edan.”
Menjelang magrib, mereka berdiri. Dini menatap Roni sambil berkata, “Ron, kayaknya kita ini bukti nyata kalau dunia pendidikan itu spiritual, penuh ujian, tapi selalu ada remidi.”
Roni angguk. “Betul. Bedanya, kalau murid salah, disuruh belajar lagi. Kalau kepala sekolah salah, disuruh cuti sambil viral.”
Lalu mereka saling tos, meninggalkan warkop dengan langkah gagah, dua pahlawan absurd yang selamat dari badai politik pendidikan. Di langit, awan membentuk tulisan tak kasat mata, “Selamat datang di Indonesia, tempat integritas diuji dengan trending topic.”
#camanewak