Begitu Susahnya Tito Minta Maaf pada Rakyat Aceh

FOTO : ilustrasi poto Mendagri Tito Karnavian [ ist ]

SIAPKAN kopi tanpa gulanya agar otak selalu encer dan waras. Narasi ini mengajarkan arti penting permintaan maaf.

Tentang empat pulau kecil yang mendadak mengalami nasib seperti anak kos salah kost.

Namanya Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek. Mereka lahir dan besar di Aceh, berbicara dengan logat “peugah ban le”, tapi entah kenapa, di tahun 2025 ini, statusnya tiba-tiba digeser, “Kamu sekarang warga Sumut, ya!”

Yang bikin geger, ini bukan prank TikTok. Ini SK resmi dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, dengan tanda tangan Tito Karnavian, mantan Kapolri yang sekarang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.

SK itu bernomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, bukan kode undian berhadiah, tapi keputusan administratif yang nyaris memicu kerusuhan horizontal dan potensi referendum.

Warga Aceh, yang biasanya tenang minum kopi di warung dan debat soal klub bola, langsung marah. Bendera GAM berkibar, bukan karena nostalgia masa lalu, tapi karena kepercayaan pada negara terguncang.

Di media sosial, tagar #EmpatPulauUntukAceh meledak. Di jalanan, spanduk-spanduk bernada “Kami Bukan Sumut” terpajang.

Di udara, suasana mencekam. Bahkan, sekelas Gubernur Aceh pun sampai harus menahan diri agar tidak ikut meradang live di podcast.

Tapi di balik hiruk pikuk itu, muncullah sang presiden. Prabowo
Subianto, presiden baru dengan otot tua dan gaya prajurit, langsung bersabda, “Empat pulau itu milik Aceh. Titik.” Seperti dalam epos Mahabharata, suara presiden lebih ampuh dari ribuan SK.

Dengan satu keputusan, empat pulau itu dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwinya, Kabupaten Aceh Singkil.

Namun, publik kini bertanya-tanya, .kenapa Tito bisa bikin keputusan segenting itu tanpa restu presiden? Apakah Mendagri bermain peta tanpa GPS? Atau ini semacam aksi solo seperti selebgram yang ingin viral, tapi lupa kontennya bisa bikin negara bergetar?

Pengamat politik dari berbagai perguruan tinggi seperti Jamiluddin Ritonga dari Universitas Esa Unggul, dan Shohibul Ansor Siregar dari UMSU, menyebut keputusan Tito sebagai ceroboh, provokatif, dan berpotensi mengoyak tenun kebangsaan. Bahkan mereka menyarankan agar Tito mundur, atau setidaknya minta maaf.

Tapi… tak ada kata maaf keluar dari bibir sang menteri. Yang ada hanyalah klarifikasi penuh istilah teknokratis. “Kami baru menemukan dokumen tahun 1992 yang menyatakan pulau-pulau itu memang milik Aceh, berdasarkan Kepmendagri 111/1992 dan peta topografi TNI AD tahun 1978.” Oh, betapa romantisnya sebuah kementerian menemukan peta tua justru setelah konflik meletus.

Padahal rakyat cuma minta satu kalimat pendek, “Saya minta maaf kepada rakyat Aceh.” Tapi nampaknya di lemari arsip Kemendagri, kata maaf itu tak pernah ditemukan.

Kini, semua sudah tenang. Pulau-pulau kembali ke pelukan Aceh. Tapi jejak luka administratif ini belum hilang. Nama Tito, sayangnya, tercatat sebagai menteri yang nyaris mengganti batas negara karena lupa buka map lama.

Tito kelahiran Palembang ini masih tetap Menteri. Walau sudah banyak desakan ia diminta mundur. Ia tetap berdasi, tetap berbicara tegas di podium. Tapi di lubuk hati rakyat Aceh, mungkin beliau tinggal sebagai kenangan absurd tentang empat pulau yang sempat jadi yatim piatu administratif.

Seandainya saja beliau minta maaf, mungkin sejarah akan lebih ringan menulis namanya. Tapi sudahlah. Di republik ini, minta maaf memang tak diajarkan di Diklat Kepemimpinan. Yang diajarkan adalah, tahan malu, tebal muka, dan tunggu rakyat lupa.

Begitulah, wahai bangsa yang memaafkan bahkan sebelum dimintai maaf. Sungguh, sebuah epos birokrasi Indonesia, ketika pulau bisa pindah, tapi kata maaf tak pernah sampai.

#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]

Share This Article
Exit mobile version