Sedih, Ausie Hapus Bahasa Indonesia

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat]

LAGI sedih ni, wak! Sedih bukan karena Timnas kalah 0-1 dari Vietnam. Bukan. Sedih karena Australia menghapus Bahasa Indonesia.

Sebagai dosen Bahasa Indonesia, kaget juga dengarnya. Sambil menunggu Prof Nursyam di lobi Hotel Orchardz Pontianak, yok kita bahas kenapa sampai tetangga itu menghapus bahasa kita tercinta?

Di sebuah sekolah elite bernama Essington, di jantung Darwin yang sunyi, sebuah keputusan diambil dengan gemuruh diam-diam, program Bahasa Indonesia akan ditutup. Tak ada parade.

Tak ada pengumuman besar. Hanya kata-kata resmi yang dilantunkan seperti puisi tanpa rima, “Kami telah meninjau prioritas kurikulum dan mendengar masukan orang tua.”

Bahasa Indonesia, kau yang selama ini menjadi jembatan antara dua negeri, kini direnggut dari ruang kelas yang mungkin pernah dipenuhi gelak tawa siswa. “Bahasa yang berharga,” mereka bilang.

Tapi apakah berharga cukup untuk membuatmu tetap bertahan? Rupanya tidak. Di dunia yang katanya saling terkoneksi, bahasa tetangga ternyata dianggap tak lebih dari sekadar hiasan masa lalu.

Di Scotch College Melbourne, drama yang sama telah terjadi. Bayu Prihantoro, seorang asisten guru yang datang jauh-jauh dari Indonesia, berbicara dengan nada getir, “Murid-murid senang belajar. Tapi program itu tiba-tiba dihapus. Hanya begitu saja.”

Kata-kata itu melayang di udara seperti daun jatuh, penuh keindahan tapi mengandung luka yang tak bisa disembunyikan.

Essington berkata, “Perubahan adalah tantangan.” Tapi, di balik kalimat itu, siapa sebenarnya yang menantang siapa? Apakah perubahan ini adalah kebutuhan, atau hanya sebuah alasan yang dikemas rapi?

Para orang tua belum diajak bicara, bahasa pengganti belum ditawarkan, tapi keputusan sudah diketuk. Ada sesuatu yang hilang dalam proses ini, mungkin rasa hormat, mungkin rasa cinta.

Luke Gosling, suara yang mencoba melawan arus, menyebut ini sebuah kemunduran. Sebuah luka besar di antara tetangga yang tak lagi saling menyapa.

Tapi siapa yang peduli? Di ruang rapat, mungkin ada diagram, laporan, dan angka-angka, tapi di sana, tak ada tempat untuk kata “strategis,” apalagi “emosi.”

Bahasa Indonesia, kau adalah puisi yang mulai dilupakan di negeri ini. Kau adalah melodi yang perlahan memudar di antara hiruk-pikuk bahasa dunia lainnya. Kau adalah jembatan yang mulai retak, bukan karena tak kuat, tapi karena tak dihiraukan.

Mukhamad Najib dari KBRI berkata, “Ini tanggung jawab Australia.” Tapi, siapa yang mendengar? Kata-kata itu seperti doa di tengah malam, penuh harap tapi sunyi tanpa jawaban.

Essington, kau berkata ingin mempersiapkan siswa untuk dunia yang terkoneksi. Tapi bagaimana mereka akan terkoneksi jika bahkan dengan tetangga pun mereka tak lagi bicara?

Dunia ini, pada akhirnya, adalah ironi. Sebuah tempat di mana bahasa yang seharusnya menjadi penghubung justru diputuskan dengan alasan keterhubungan.

Begitulah, Bahasa Indonesia perlahan menghilang dari ruang-ruang elite, seperti senja yang ditelan malam. Tanpa hening cipta, tanpa tangis, hanya suara pelan yang berkata, perubahan adalah bagian dari perjalanan.

Tapi di perjalanan ini, yang hilang bukan hanya bahasa, melainkan juga makna persaudaraan.

#camanewak