FOTO : Saat diskusi kebangsaan dilaksanakan (Ist)
Pewarta : Raden Ridho Ibnu Syahrie
radarkalbar. com, PONTIANAK – Rangkaian diskusi kebangsaan yang digelar Institute Kajian Kebangsaan (Instan) berlangsung dinamis.
Lima pemantik narasumber melontarkan gagasan dan komitmen perlu optimisme dan langkah konkret di usia 76 Tahun Indonesia Merdeka.
“Kita semua harus berperan aktif melakukan transformasi untuk kehidupan yang lebih damai dan berkeadilan, makmur dan berperadaban tanpa menanggalkan nilai-nilai kebangsaan demi masa depan NKRI,” kata Joni Isnaini, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalimantan Barat, Selasa (17/8/2021) saat membuka Diskusi Instan bertema Rekonstruksi Kebangsaan 76 Tahun Indonesia Merdeka di era 4.0.
Dijelaskan Joni, sebagai bangsa Indonesia jangan sampai melupakan sejarah, karena negara ini dirancang bukan hanya untuk menggulung kolonialisme dan mematahkan kaki-kaki tangan imperialisme. Tetapi memiliki misi yang jauh lebih penting untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Segenap elemen anak bangsa perlu merekonstruksi menyeluruh berbagai aspek meliputi sosial politik dan ekonomi serta sosial budaya. Harapan kita, nilai kebangsaan harus ditumbuhkan sedini mungkin kepada generasi penerus kita,” ujarnya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wakil Ketua Kadin Kalbar, Nursaid yang menjelaskan pihaknya akan senantiasa mendorong tumbuhkembang bidang ekonomi. Merdeka bermakna bahwa rakyat harus merasakan hasil dan sejahtera, bisa mendapatkan lapangan kerja. Kadin memiliki visi dan misi tersebut.
“Kita perlu optimis negara ini kokoh dan kuat meski di masa pandemi ini kita banyak kehilangan keluarga kita, namun harus banyak bersabar dan berusaha untuk tetap bangkit,” ujar Nursaid.
Pemantik diskusi lainnya, Hermayani Putera memandang perlunya negara merekonstruksi untuk mewujudkan cita-citanya memenuhi kesejahteraan rakyat. Kata kunci rekonstruksi itu adalah upaya mengembalikan sesuatu kepada yang semula.
“Kondisi hari ini jauh dari tujuan berbangsa dan bernegara,” ujar Hermayani.
Herma, sapaan akrab aktivis yang satu ini melakukan otokritik diantaranya apakah Indonesia sudah sejajar dengan negara lain, bagaimana peran pemerintah pusat dan daerah apakah mempunyai program inovasi. Kemudian, bagaimana dengan pelayanan dasar masyarakat apakah sudah menyentuh persoalan mendasar.
“Bagaimana penyelenggara negara menjawab persoalan pendidikan, kesehatan, kelompok marjinal dan lainnya. Mereka sering tak dihitung dalam perencanaan pembangunan, seperti halnya buruh, nelayan dan petani ternyata belum masuk dalam desain besar perencanaan pembangunan,” ujarnya seraya memaparkan belum adanya solusi di era 4.0 dimana pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan manusia sudah banyak diambil alaih oleh mesin.
Wakil Walikota Singkawang, Irwan, yang tampil sebagai pemantik ketiga mengemukakan rekonstruksi kebangsaan harus dimulai dengan pemantapan karakter dan moral anak bangsa dengan harapan generasi berikutnya juga memilik kejujuran, integritas, tangguh, kerja keras dan tuntas.
“Bangun cara berfikir untuk menjadikan diri kita generai yang mempunyai kompetensi, responsif, kreatif, dan mampu menjawab kebutuhan hari ini,” ujar Irwan.
Yang lebih penting dalam momentum 76 tahun Merdeka ini, kata Irwan, adalah membangun kebersamaan dan kolaborasi, solidaritas dan gotong royong. Di era 4.0 ini memerlukan pengayaan literasi. Persoalan ketika pandemi ini memengaruhi aspek pendidikan, ekonomi, interaksi sosial, dan aktivitas keagamaan.
“Kesimpulannya dalam menghadapi krisis kebangsaan, tidak menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Bangun irisan kolaborasi yang seimbang antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi dan segenap stakeholders,” kata Irwan.
Lain halnya pemantik diskusi Lorens Arang. Aktivis pergerakan ini menyoroti belum terdistribusinya keadilan sosial yang merata bagi masyarakat Indonesia.
“Negara kita sudah dalam posisi percaturan global. Ada tips bertindak lokal dan berpikir global. Dalam prosesnya perlu disesuaikan dengan kondisi lokal.
“Cita-cita Indonesia sangat luhur untuk setara dengan negara lain. Ada platform yang menjadi prinsip dasar bernegara, tetapi apakah kedaultan ini masih tetap dimiliki Indonesia. Bicara soal tanah dan air ini bersentuhan dengan kedaulatan pangan dan lain-lain. Kenyataannya di Kalbar saja terdapat 70% investasi yang bersinggungan dengan domestik dan pihak luar,” ujar Lorens.
Diujung pemaparan pemateri sebelum dimulainya sesi tanya jawab, Ireng Maulana, Praktisi Sosial Politik jebolan IOWA USA menjelaskan rekonstruksi kebangsaan sangatlah penting dan memerlukan proses adaptasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Jika tidak beradaptasi, maka akan musnah.
Sedangkan, kata dia, soal kebangsaan dimulai dari individu yang masuk dalam komunitas lebih besar. Disitulah ditemukan integrasi dan kesatuan untuk memastikan kepentingannya terjamin.
“Jika bicara bangsa maka kepentingan rakyat harus dijamin dengan cara warga berintegriasi dalam komunitas. Kebangsaan tidaklah sakral jika kita tidak menjawab kepentingan dasar sampai ke level bawah. Banyak kenyataan yang tidak relevan,” kata Ireng.
Ireng membandingkan Indonesia dengan Tiongkok sebagai kekuatan negara baru (new emerging force) yang berhasil mencapai titik keseimbangan dalam kancah global. Hal ini dimulai dari gerak individu masyarakatnya.
“Contohnya Mark Zuckenberg, Jack Ma dan lain-lain. Mereka itu individu tetapi sudah setara negara. Jadi, Indonesia memerlukan individu-individu yang berkualitas,” paparnya.
Ireng menjelaskan di era 4.0 ini terdapat beberapa ancaman besar antaralain gerakan separatis, penerapan regulasi atas kepentingan global, peredaran narkoba, bentrok antar kelompok, kelompok non state actor (teroris), instrumen proxy dan anak muda alay.
Ireng memberikan tawaran solusi bagi Indonesia pada momentum 76 tahun merdeka antara lain reformasi besar seiring perubahan dalam tubuh rezim. Seain itu, tidak boleh lupa dengan suasana kebatinan masyarakat Indonesia, rekrutmen generasi kepemimpinan serta pembangunan karakter.
“Khusus regenerasi kepemimpinan, Idisarankan kepada partai politik untuk berhenti merekrut orang-orang yang tidak kompeten dan tidak memiliki kapabilitas untuk memimpin,” ujar dia.
Soal regenerasi kepemimpinan ini kemudian menjadi pembahasan yang intens dari para pematik diskusi dan partisipan yang mengikuti diskusi tersebut.
“Kebiasaan dalam perpolitikan kita sekarang tidak terlepas dari kemampuan finansial calon. Sangat sulit menemukan Parpol yang idealis. Ada sih, tapi hanya beberapa partai saja,” ujar Bambang Widianto, salahseorang partisipan diskusi.