Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat]
DI SUDUT Warkop Sedap Nikmat Jalan Sudirman Pontianak, di bawah kipas angin yang berputar lebih lambat dari jam istirahat PNS, dua sahabat tua, Wak Dalek dan Wan Dolah, kembali bersua.
Warkop ini baru mereka jajal, setelah warkop langganan mereka penuh pelanggan. Akhirnya, ketemu Warkop dekat RRI itu.
“Eh Wak, kau tahu nggak?” buka Wan Dolah, sambil menyeruput kopi yang lebih pahit dari hidupnya. “Kemarin, si Mat Lojeng tetangga aku, tiba-tiba bilang ke semua orang kalau dia itu saudara sepupu dari Gubernur terpilih.
Padahal waktu Pilgub kemarin, jangankan bantu kampanye, ngintip baliho saja ogah.”
Wak Dalek tertawa kecil. “Itulah manusia, Wan. Di mana ada gula, di situ semut nge-rental.”
Wan Dolah menatap Wak Dalek dengan dahi berkerut. “Rental apanya?”
“Ya itu, semut-semut yang malas, nggak mau bantu bikin gula, tapi giliran ada gula, langsung datang numpang manis. Gaya mereka lebih licik dari tikus kantor.”
Wak Dalek meletakkan gelas kopinya dengan dramatis, seolah sedang memberikan pidato kenegaraan.
Wan Dolah mengangguk. “Betul! Kau tahu, sekarang Si Amat sampai minta nomor WhatsApp ajudan Gubernur. Katanya mau ngatur proyek di kampung.
Astaga! Jangankan proyek, waktu disuruh ngangkut karung beras bantuan waktu banjir di Sosok, dia malah bilang pinggangnya sakit.”
“Orang kayak si Amat itu kayak mi instan, Wan.”
“Apa maksudnya, Wak?”
“Semua serba cepat! Cepat ngaku keluarga, cepat merapat, cepat lupa diri. Padahal, kalau mau jujur, waktu si calon itu ngamen ke rumah-rumah, si Amat malah pura-pura tidur di bawah kipas angin sambil ngorok lebih keras dari suara speaker kampanye.”
Keduanya tertawa ngakak, sampai suara mereka mengalahkan lagu dangdut remix yang diputar di warkop.
Tiba-tiba, seorang pria di meja sebelah mereka yang tampak seperti pengamat politik sok tahu menyela. “Kalau menurut saya, ini fenomena biasa, Pak. Namanya juga politik. Setelah menang, pasti banyak yang mau mendekat.”
Wak Dalek langsung menoleh, dengan ekspresi seperti detektif yang menangkap basah penjahat. “Kalau gitu, kenapa waktu kalah nggak ada yang mau mendekat? Waktu itu, jangankan saudara, bayangan sendiri saja malu!”
Wan Dolah menimpali. “Betul, Wak! Mereka ini kayak iklan motor. Waktu si kandidat masih loyo, semua menjauh. Giliran menang, langsung sok akrab. Padahal, jangankan bantu pasang baliho, kopi pancong oun tak mau jamin.”
Pria tadi hanya tersenyum kikuk, sementara Wak Dalek dan Wan Dolah semakin bersemangat.
“Wan, aku ada ide!” ujar Wak Dalek sambil menepuk meja hingga kopinya hampir tumpah. “Gimana kalau kita bikin baliho kita sendiri? Tulis besar-besar, ‘SAUDARA PALSU DILARANG MASUK!’”
Wan Dolah tertawa sampai terbatuk. “Hebat, Wak! Tapi nanti, kalau benar Gubernur itu saudara kita, kita ngaku nggak?”
“Ngaku sih ngaku, tapi jangan kebangetan kayak si Amat! Cukup bilang kita saudara jauh, jauh banget, sampai nggak pernah ketemu.”
Meja mereka berguncang karena tawa yang tak berhenti. Beberapa pengunjung warkop mulai melirik, ada yang ikut tertawa, ada juga yang menggeleng sambil tersenyum.
Obrolan mereka terus berlanjut, membahas saudara palsu, teman dadakan, dan segala kepalsuan yang muncul setiap kali seseorang sukses.
Di akhir, Wak Dalek berujar, “Yang penting kita tetap jadi penonton setia, Wan. Karena kalau semua jadi pemain, yang nonton siapa?”
Warkop itu kembali riuh, diiringi gelak tawa dua sahabat yang tak pernah kehilangan selera humor, meski dunia semakin absurd.
#camanewak