FOTO : ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
KATA -kata orang jujur itu memang nyelekit. Memang benar, tapi bikin sakit hati. Itulah yang dirasakan LCJ terhadap ungkapan jujur Purbaya.
Jangankan didukung, malah minta dipecat. Mari kita lindas, eh salah, kupas fenomena absurd ini sambil ngopi tanpa gula, wak!
Negeri ini memang ajaib. Di saat rakyat sedang jatuh cinta pada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa karena gaya blak-blakannya, tiba-tiba muncul segerombolan pasukan relawan yang menamakan diri Laskar Cinta Jokowi (LCJ) menuntut agar Purbaya dipecat.
Alasannya? Karena dia jujur. Ya, betul, karena jujur! Di republik ini, kejujuran tampaknya sudah masuk kategori pelanggaran berat, setara dengan makar dan salah kostum di acara kenegaraan.
Semua bermula dari satu kalimat yang keluar dari mulut Purbaya dalam sebuah wawancara, “Rakyat Indonesia lebih makmur di era Presiden SBY dibandingkan era Presiden Jokowi.” Satu kalimat itu langsung mengguncang jagat politik seperti meteor jatuh di Senayan.
LCJ melonjak dari grup WhatsApp ke jalan raya, membawa spanduk dan kemarahan. Mereka menuduh Purbaya tidak setia, tidak tahu adat, bahkan tidak menghormati “warisan Jokowi”. Lucunya, mereka sibuk membela warisan, padahal rakyat sedang membela kehidupan.
Koordinator LCJ, Suhandono Baskoro, bersuara lantang. “Pernyataan itu berpotensi memecah belah bangsa!” Padahal bangsa ini sudah lama pecah, bukan oleh Purbaya, tapi oleh kopi tanpa gula dan test DNA. Tapi sudahlah, logika sering kalah oleh fanatisme.
LCJ mendesak Presiden Prabowo agar segera mencopot Purbaya dari jabatan Menteri Keuangan. Seolah-olah negara ini akan hancur kalau seseorang berkata jujur di depan kamera.
Rumor makin liar. Ada yang bilang Purbaya sebenarnya agen rahasia “Jaringan Nostalgianis SBY” yang dikirim dari masa lalu untuk menghidupkan kembali ekonomi zaman nasi uduk lima ribu. Bahkan, seorang relawan bersumpah melihat Purbaya makan pecel lele sambil tersenyum misterius, konon itu tanda komunikasi spiritual dengan era SBY.
Padahal mungkin dia cuma ngantuk. Tapi di negeri yang gemar bikin teori, ngopi pun bisa dituduh makar. “Yang di warkop, hati-hati, wak!” Ups.
Sementara LCJ teriak “pecat!”, rakyat di media sosial justru bilang “pertahankan!”. Pegiat medsos Yusuf Muhammad menyindir, “Besok LCJ minta ganti mata uang jadi JokowiCoin, biar bisa beli kenangan.” Komentar itu viral, disukai ribuan netizen yang bosan dengan politik penuh baper.
Para pengusaha malah dukung Purbaya. Bob Azam dari Toyota bilang rencana menurunkan PPN itu brilian. Mahfud MD ikut bela, menyebut Purbaya benar menolak bayar utang proyek kereta cepat Whoosh pakai APBN.
Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun, bahkan memberi nasihat bijak, “Pak Purbaya hebat, cuma perlu sedikit taktis.” Itu kode halus, teruskan, tapi jangan bikin orang gemetaran tiap wawancara.
Di tengah semua kegilaan itu, rumah Purbaya sempat diteror. Katanya karena terlalu jujur. Di negeri yang salah bicara bisa membuatmu diintai, Purbaya tetap tenang. Ia hanya tunduk pada Presiden, bukan pada geng nostalgia atau laskar pencinta baliho.
So, kalau LCJ minta dia dipecat, mungkin justru karena mereka takut, kalau terlalu banyak Purbaya, terlalu banyak kebenaran yang terungkap. Kebenaran, di republik ini, lebih berbahaya dari korupsi.
Kebenaran kadang berdiri sendirian, tanpa tepuk tangan dan tanpa karangan bunga. Di tengah riuh rendah opini dan kepentingan, orang yang berani jujur justru bisa jadi terlihat aneh, bahkan dianggap musuh.
Padahal, dialah yang sedang menjaga keseimbangan dunia, meski cuma dengan seutas logika dan sepotong nurani. Kadang yang paling dicintai rakyat justru paling dibenci oleh mereka yang takut kehilangan kendali atas panggung sandiwara kekuasaan.
Namun, sejatinya cinta pada negeri bukan tentang ikut arus, tapi berani melawan ketika arah kapal melenceng. Laskar sejati bukan mereka yang berteriak paling keras, melainkan yang tetap waras di tengah badai retorika.
Dari sini kita belajar, dalam politik dan kehidupan, tidak semua yang bersuara lantang berarti benar, dan tidak semua yang tenang berarti kalah. Sebab pada akhirnya, yang menang bukanlah yang paling banyak pendukung, tapi yang paling banyak keberanian untuk berkata, “Tidak, ini tak benar.”
#camanewak