Prabowo Tabuh Genderang Perang Melawan Tambang Ilegal

FOTO : Ilsutrasi aparat gabungan melaksanakan penertiban aktivitas PETI [ dok penulis ]

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

SIFAT jenderal Prabowo keluar. Akan memerangi pelaku tambang ilegal. Ini yang gue demen, berani, menyala, dan berapi-api.

Soalnya di Kalbar banyak PETI yang mencemari sungai. Mungkin inilah saatnya presiden kita perang sungguhan melawan tambang ilegal, baik yang di-back up para perwira maupun politisi dan cukong.

Simak narasinya sambil seruput lemon tea di Nordo 2 Jalan Ujung Pandang Pontianak.

“Lho, kok lemon tea, Bang? Biasanya kopi tanpa gula.”

“Sekali-kali ganti minuman. Lemon tea tanpa gula, asem bangat, wak.”

Jakarta, 15 Agustus 2025. Ruang sidang MPR bergetar. Bukan karena gempa, tapi karena suara Presiden Prabowo Subianto yang, entah kenapa, terdengar seperti bedug Lebaran dicampur genderang perang Romawi.

Dengan nada mantap yang bisa membuat secangkir kopi di meja wartawan bergoyang. Ia mengumumkan, “Ada 1.063 tambang ilegal di negeri ini, dengan kerugian negara minimal Rp300 triliun!”

Rp300 triliun! Uang segitu kalau dibelikan bakso harga lima ribu, bisa bikin tata surya baru berisi planet bakso lengkap dengan cincin bihun. Tapi Prabowo tidak berhenti di angka. Ia menegaskan akan menertibkan semua tambang itu, tanpa pandang bulu.

Bahkan, jika ada jenderal atau pejabat kuat yang ikut bermain, sikat. Di kursi belakang, beberapa pejabat terlihat mengusap kening, mungkin bukan karena panas, tapi karena mulai menghitung berapa banyak telepon yang harus mereka matikan malam ini.

Data Kementerian ESDM menunjukkan ada 2.741 titik PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin) di seluruh Indonesia.

Ada 96 tambang batubara ilegal, sisanya mineral. Provinsi seperti Sumatera Selatan (26 laporan), Riau (24), Sumatera Utara (12) menjadi juara bertahan, diikuti Aceh (11), Jawa Timur (9), dan lainnya.

Tapi jangan lupakan Kalimantan Barat, tanah yang bukan hanya kaya hutan tropis, tapi juga cerita PETI yang levelnya sudah “internasional”.

Per Agustus 2025, Polda Kalbar berhasil mengungkap 40 kasus PETI di 26 lokasi dalam kurun 1 Januari–6 Agustus 2025. Sebanyak 65 orang ditetapkan sebagai tersangka, mulai dari pekerja tambang, pengangkut, penampung, pengolah, hingga pemodal.

Barang bukti? Tidak main-main, 33,71 kg emas berbagai bentuk, uang tunai Rp90 juta, mata uang asing dari Ringgit Malaysia, Baht Thailand, Dolar Taiwan, hingga Dolar Singapura. Ada juga 25 unit mesin dari diesel sampai alat berat.

Modusnya bervariasi, dari teknik tradisional di sungai hingga penggunaan alat berat di hutan lindung, semua hasil akhirnya masuk ke pengepul lalu dikirim ke pengolah di Pontianak dan kota lain. Bahkan terindikasi ada jaringan lintas negara yang ikut menampung emas ini.

Dampaknya? Alam menangis. Sungai jadi seperti kopi susu, ikan-ikan kehilangan alamat rumah, dan tanah terbuka seperti bekas perang bintang.

Di beberapa tempat, tambang ilegal menjadi taman safari alat berat, di mana eskavator berkeliaran seperti badak kuning di hutan. Penertiban sering dilakukan, tapi pelaku utama seperti roh halus, tidak terlihat, tapi efeknya terasa.

Optimis? Tentu saja. Presiden sudah berjanji, dan janji seorang Presiden biasanya ditulis dengan tinta emas di arsip negara. Pesimis? Oh, lebih tentu lagi.

Sebab sejarah tambang ilegal di Indonesia bagaikan sinetron 3.000 episode. Tokoh utama bisa berganti, lokasi bisa pindah, tapi ceritanya tetap sama. Ada yang gali, ada yang jaga, ada yang hitung, dan ada yang diam.

Secara filosofis, tambang ilegal adalah cermin peradaban kita. Ia mengajarkan bahwa hukum itu seperti pintu putar di mal. Siapa yang punya kartu akses bisa keluar-masuk sesuka hati.

Ia juga membuktikan teori sosial bahwa sumber daya alam bukan hanya batu atau emas, tapi juga “kesempatan” untuk menjadi bagian dari rantai pasok kejahatan yang sangat efisien.

Apapun akhirnya, perjuangan melawan tambang ilegal akan selalu epik. Bayangkan adegannya, di satu sisi, pasukan penegak hukum berbaris gagah, di sisi lain, ekskavator kuning menderu seperti naga baja.

Di udara, aroma tanah bercampur debu, dan di bawahnya, miliaran rupiah mengalir seperti sungai bawah tanah menuju rekening-rekening yang tak pernah diperiksa.

Kita pun berdiri di antara optimisme dan pesimisme, di antara genderang perang dan musik sinetron. Jika perang ini dimenangkan, kita akan melihat sungai kembali jernih, hutan kembali hijau, dan Rp300 triliun kembali ke kas negara.

Jika kalah? Yah… setidaknya kita pernah mendengar genderang perang itu, dan sempat membayangkan bahwa keadilan, seperti tambang emas, suatu hari benar-benar bisa ditemukan.

#camanewak

Share This Article
Exit mobile version