Bahasa Sindiran atau Satire

FOTO : Dr Rosadi Jamani (Ist)

Oleh : Dr Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalimantan Barat

JELANG pemilu dan pilpres, suhu politik memang panas. Sesama pendukung saling hujat, menjatuhkan, memang sudah kerjaannya. Mereka pun kebal hukum.

Berbeda dengan kaum sipil, seperti saya, Anda juga. Pasti takut mengkritik secara terbuka para sutradara maupun pemain politik itu.

Takut diteror, dibully, diintimidasi, dipersekusi, atau dilaporkan ke polisi. Takut karena tak ada backup-nya. Salah satu cara mengatasi itu, gunakan bahasa sindirian atau satire.

Kalian sering mendengar istilah Pak Lurah, Bu Lurah, Anak Pak Lurah akhir-akhir ini. Istilah negeri Konoha atau Wakanda. Kalian juga tahu siapa sebenarnya Pak Lurah dan keluarganya.

Demikian juga negeri Konoha. Kenapa istilah satire ini muncul? Karena, inilah cara paling aman terhindar dari hukum dalam melakukan kritik. Tandanya, rakyat masih takut mengkritik secara terbuka.

La iyalah, takut. Kalau dipenjara tak ada kawan yang nolong. Malah diketawain. Bahasa satire menjadi andalan.

Dari dulu masyarakat kita memang suka gunakan satire. Tak berani langsung to the point. Ingat istilah, “Marahi anak sindir menantu” Anak yang tak bersalah dimarah-marah di hadapan menantu yang menyebalkan.

Berharap, siapa yang luka ia yang pedih. Salah satu bentuk satire paling melegenda adalah pantun. Dengan pantun, orang dulu bebas mengekspresikan kritikan.

Sudah tahu ada bolong
Masih saja mau berdalih
Sudah tahu suka bohong
Masih saja mau dipilih

Pasti tahu ke siapa pantun itu dialamatkan. Hanya sindiran, tak disebutkan nama. Tapi, sindiran dari pantun itu sudah pada tahu. Siapa luka dia yang pedih.

Pantun dari sejak dulu digunakan untuk sindiran. Bisa juga untuk yang lain sih.

Selain pantun, puisi juga sering digunakan untuk satire. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, begitu hebatnya puisi Gusmus soal republik rasa kerajaan.

Semua tahu ke mana arah dari puisi itu. Tidak disebutkan nama, tapi tahu siapa yang dimaksud.

Selain itu, lagu. Kita tahu lagu-lagunya Iwan Fals. Penuh kritik sosial di zaman Orde Baru.

Ingat lagu Bongkar, Bento, Surat Buat Wakil Rakyat. Ngena bangatlah sindiran beliau kepada penguasa dan wakik rakyat zaman itu.

Sekarang pun masih ngena. Siapa yang dimaksud, tahu sama tahu saja. Sindiran dalam bentuk lagu ini juga banyak dilakukan musisi lain.

Itu dulu ya. Sekarang apakah ada sindiran kekinian? Ada. Salah satunya Stand Up Comedy. Sudah pada nonton para standup comedy menyindir habis anak dan menantu Pak Lurah di Medan? Videonya viral. Sadis kali sindirannya.

Yang disindir sepeti merasakan luka tapi tak berdarah. Tertawa tapi hatinya terbakar. Mau marah, tapi tak bisa, karena hanya sindiran.

Apalagi ya? Oh iya, parodi. Saat putusan MK kemarin, banyak bermunculan lagu lama yang diparodikan.

Contoh lagu, “Paman Datang” berbunyi, “Kemarin paman datang, pamanku dari desa. Dibawakannya rambutan, pisang, dan sayur-mayur segala rupa.

Bercerita paman tentang ternaknya, berkembang biak semua”. Itu bait aslinya, lagu diparodikan dengan syair diubah menyesuaikan putusan MK.

Lagu parodinya sanga viral dan membuat kita senyam-senyum. Sindiran ala parodi ini semakin ramai dipraktikkan oleh mereka yang tak berani mengkritik secara terbuka.

Banyak lagi cara lain warga melakukan kritik. Kebanyakan memang berani menggunakan satire. Negara demokrasi, kritik terbuka masih pada takut.

Hanya berani lewat kiasan, pantun, puisi, lagu, parodi, standup comedy, dsb. Praktik satire dengan cara lebih kreatif akan terus bermunculan.

Sejauh ini, satire yang dilakukan sangat ampuh menyampaikan pesan dan pastinya aman.

#camanewak @pengikut