Fahri Hamzah Apresiasi Jokowi Lakukan Rekonsialiasi dan Konsolidasi dengan Elite Politik

POTO : Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah (Ist)

Pewarta/editor : tim liputan/red-Sery Tayan

JAKARTA – RADARKALBAR.COM

WAKIL Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo melakukan upaya rekonsiliasi dan konsolidasi elite politik saat ini.

Ia menilai langkah itu membawa banyak manfaat dan “top dan harus mendapatkan pujian”.

“Jika elite bersatu dalam situasi krisis saat ini. Maka akan banyak manfaatnya. Tapi, sebenarnya sudah melakukan upaya rekonsiliasi dan konsolidasi elite oleh Pak Jokowi sebelum adanya Covid – 19,”ujar Fahri Hamzah dalam keterangan pada Minggu (9/4/2023).

Fahri menyebut upaya Presiden Jokowi melakukan rekonsiliasi, ketika merevisi Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) pada 2019 lalu.

“Waktu kita merevisi Undang-Undang MD3, terakhir itu 2019. Presiden meminta supaya semua partai dapat kursi pimpinan DPR /MPR, dan benar itu akhirnya terjadi,” ujar Fahri.

Sebab, kata Fahri, jika mengacu pada UU MD3 yang lama maka tidak semua partai mendapatkan kursi pimpinan DPR/MPR, melainkan hanya partai yang masuk lima besar.

Partai mendapatkan kursi pimpinan MPR, termasuk PKS dan Partai Demokrat yang merupakan oposisi.

“Terakhir itu, Presiden bilang kita mau masuk rekonsilisiasi, semua partai kasih pimpinan dan dapat semua,” tuturnya.

Artinya, tambah Fahri, Presiden Jokowi sudah melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi elite sebelum ada Covid-19 ketika dunia dalam keadaan normal dan tidak ada pandemi.

Hal tersebut tampak dari Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang merupakan rival Presiden Jokowi pada Pilpres 2019. Dan akhirnya masuk ke dalam kabinetnya sebagai menteri.

“Jadi, sebenarnya Pak Jokowi telah merancang soal rekonsiliasi sebelum krisis itu satu inisiatif yang tepat, setelah terjadi pembelahan dua kali yang keras. Tapi, sayang tiba-tiba awal 2020, Covid-19 datang,” ungkapnya.

Dia menyebut banyak keputusan elite politik yang tentunya yang untung dengan adanya rekonsiliasi dan konsolidasi elite, terlebih pandemi Covid-19 membawa dampak krisis kesehatan, kesejahteraan, ekonomi, dan politik secara global.

“Sekarang ini Covid-19 sudah selesai, tetapi kan krisis politik dunia masih ada. Ada Perang Rusia-Ukraina, ada kemungkinan perang Taiwan dan lain-lain. Kemungkinannya cukup besar, tetapi lagi-lagi sedikit banyak jika elite-nya bersatu dalam krisis, rekonsiliasi itu banyak manfaatnya,” jelasnya.

Untuk itu, rekonsiliasi seharusnya bukan sebagai insiden. Melainkan sebuah monumen yang harus terlembagakan karena persatuan elite bermanfaat bagi bangsa dan negara.

“Kita tadinya menginginkan agar rekonsiliasi dilanjutkan sampai pada pembenahan sistem pemilu dan politik secara masif. Tetapi, sayangnya tidak berani menuntaskannya , misalnya soal presidential threshold nol persen,” katanya.

Pada usia pemerintahan Presiden Jokowi yang tinggal tujuh bulan lagi tidak ada persaingan dalam kabinet yang berpotensi merusak fokus dan konsentrasi kerja dari pemerintah lantaran sibuk memikirkan pencalonan pada Pilpres 2024.

“Jadi, apa yang dilakukan oleh Pak Jokowi meminta adanya koalisi besar itu, sebagai konsolidasi terhadap kabinet. Menurut saya harus mendapatkan hormat dan pujian karena kekuasaan kabinetnya masih berlangsung,” tuturnya.

Dia berpandangan seharusnya para menteri yang duduk pada kabinet pun tidak boleh memiliki calonnya sendiri karena mereka masih bagian dari pemerintah.

Pasalnya, dia menilai para menteri yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), seperti Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan dan Prabowo Subianto jika memiliki calonnya sendiri. Dan berpotensi mengganggu kinerja pemerintahan Jokowi.

“Kalau oposisi mau menyerang, silakan saja. Tetapi, inisiatif Pak Jokowi mengkonsolidasi sisa kekuasaan sampai berakhir itu top dan harus dipuji. Nanti, efeknya hanya satu kandidat,” ucapnya. (siberindo.co)