Satu Putaran

FOTO : DR. Rosadi Jamani (ist)

Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, DR. Rosadi Jamani

PADA Kamis lalu, ngopi di sebuah kafe. Begitu masuk, penuh. Tersisa satu kursi di bagian luar.

Di dalam penuh dengan pengunjung. Saya coba perhatikan satu per satu, semuanya anak muda.

Sepertinya pelajar SMA. Jadi merasa tua sendirian. Kurang lebih 20 menit ngopi, tak terdengar satu pun mereka bicara politik.

Semua asyik main games. Terdengar agak ribut. Yang diributkan main gamesnya. Kemudian, tak ada satupun cangkir kopi di depan mereka.

Semua pesan minuman yang ada es nya. Bunyinya ngopi, tapi tak ada satupun seruput kopi.

Dalam hati, apakah mereka tahu soal politik ya? Apakah mereka sudah ada pilihan? Siapa capres yang mau dipilih? Malu juga menanyakan itu di saat mereka asyik dengan dunianya. Sebuah gambaran generasi z (Genzy) saat ini.

Genzy jelas beda dengan generasi milenial. Begitu lahir, sudah dikenalkan dengan dunia digital. Hidup mereka sepenuhnya terhubung dengan digital.

Tak bisa lagi dipisahkan dengan Hp, Wifi, dan colokan listrik. Mereka lebih asyik berselancar di dunia maya ketimbang dunia nyata. Apakah mereka tahu dunia politik?

Genzy sangat pragmatis. Tak suka teori. Maunya hasil nyata. Tak suka diajak dialog atau adu gagasan. Kalau diajak main games, kita yang tak bisa meladeninya.

Berbeda dengan generasi tua, kalau ngopi penuh dengan dialog, ngobrol. Kopi pancung seharga lima ribu, baru habis dua jam bahkan lebih. Temanya tak lari soal politik, proyek, dan blukar tanah. Beda jauh ya.

Genzy seperti tak peduli urusan politik, apakah ada Capres ingin menguasai mereka? Jelas ada dong. Bahkan, suara Genzy inilah yang sedang diperebutkan. Bukan suara kaum tua.

Ada Capres yang ada Genzy-nya, lihat hasilnya dalam beberapa survei terakhir, unggul telak. Separuhnya dari Capres lain. Dengan hasil survei itu, ada merasa yakin, cukup satu putaran saja.

Di mana letak keunggulannya, Genzy. Capres yang ini tak lagi main gagasan, dialog, atau debat. Cukup joget, ngasih susu, makan gratis, tinggi deh suaranya.

Kenapa demikian, karena Genzy itu tak suka gagasan, maunya happy, riang, joget, Tiktokan, malas mikir aneh-aneh. Jangankan mikirkan negara, mikirkan dirinya saja tak mampu.

Ya, lebih baik main games. Bodo amat soal IKN, korupsi, moral, politik dinasti, supremasi hukum. Yang penting ada Wifi, colokan listrik, mager dan mabar.

Orang yang suka memberi materi pasti memenangkan hati pemilih. Berbeda dengan yang suka ngasih gagasan, orang sudah malas.

Alasannya, negeri ini sudah dijejali orang pintar dengan segala gagasan. Sederhananya, terlalu banyak teori, kerja nol.

Maunya, kerja, kerja, kerja. Lho..kok sama dengan motto Pak Lurah. Sepertinya orang kita masih suka model beginian. Tak banyak cincong, langsung garap proyek.

Tak peduli nanti berfungsi atau tidak, yang penting proyek jalan. Tak peduli mangkrak.

Kasus megaskandal di MK, asam sulfat, Paman Usman, Gemoy, anak ingusan, tak mau debat, mestinya menurunkan suara di survei. Justru sebaliknya, suara malah naik. Apa yang menaikkannya, hanya joget-joget.

“Kalau ada yang marah-marah, cukup dijogeti saja!” Apakah lembaga surveinya yang memang sengaja dipesan atau dibayar, atau masyarakat kita memang suka demikian. Wallahuallam Wak.

Sejauh ini, itulah realitas politik kita. Cuma, yang merasa suaranya selalu di atas jangan merasa menang dulu. Masih ada dua bulan. Apa saja bisa terjadi.

Bisa saja pasangan yang selalu di bawah, malah di atas. Politik mirip juga dengan bola. Bentuknya bulat, apapun bisa terjadi di lapangan.

#camanewak