FOTO : Ilustrasi foto Muhammad Riza Chalid [ ist ]
MUHAMMAD Riza Chalid, dengar namanya saja pejabat tinggi di negeri ini udah ngeper.
Ia sangat licin, selicin solar. Namun, di bawah kendali Prabowo, kejaksaan akhirnya berani menetapkannya tersangka.
Sayangnya, ia buron ke Singapura. Mari kita ungkap sambil seruput kopi di Kopikoe Jl Nusa Indah 1 Pontianak.
Dulu, ketika matahari belum sempat terbit tapi harga BBM sudah naik duluan, nama Riza Chalid sudah lebih dulu terukir dalam kitab suci perminyakan nasional.
Ia bukan sekadar pengusaha. Ia adalah aurora borealis di langit gelap bisnis migas Indonesia.
Ia digelari The Gasoline Godfather, dan bukan main-main, julukan itu bukan sekadar basa-basi, tapi semacam pengakuan bawah sadar bahwa siapa pun yang bermain dalam urusan minyak pasti pernah mencium jejaknya, atau minimal pernah disikut olehnya di lorong gelap tender.
Riza bukan orang sembarangan. Bisnisnya menggurita lewat perusahaan-perusahaan dengan nama-nama megah seperti Straits Oil, Paramount Petroleum, hingga Cosmic Petroleum, yang kalau dibaca cepat, terdengar seperti nama villain Marvel, dan memang sih, kelakuannya kadang-kadang selevel Thanos.
Dengan omzet tahunan ditaksir US$ 30 miliar, dan kekayaan pribadi US$ 415 juta, Riza sukses membangun citra sebagai makhluk setengah manusia setengah drum solar, hangat, licin, dan sulit ditangkap.
Ia tinggal di Singapura, jauh dari riuh demonstrasi BBM naik di Tanah Air. Seperti pemilik kerajaan energi sejati, ia melahirkan penerus, Muhammad Kerry Adrianto, anak kandung yang tampaknya dilatih sejak kecil untuk menyusun mark up dan menghitung margin dari belakang layar dash board kilang.
Namun, dalam puncak keagungan itu, ada satu hal yang tak bisa dibeli dengan minyak, karma.
Pada 2025, publik terperanjat. Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, periode 2018–2023.
Diduga kuat, ia adalah beneficial owner dari PT Orbit Terminal Merak dan PT Navigator Khatulistiwa, dua entitas yang entah bagaimana muncul seperti jin dalam proyek penyewaan Terminal BBM Merak, yang anehnya, tidak dibutuhkan. Seperti membeli AC untuk orang yang sudah tinggal di dalam kulkas.
Lewat permainan harga yang melesat seperti roket ke Pluto, negara dipaksa membayar mahal, sangat mahal, dengan kerugian yang ditaksir mencapai Rp 285 triliun. Di sinilah kisahnya berubah dari epos kejayaan menjadi novel tragikomedi.
Ternyata, bukan hanya Riza yang masuk daftar pemain. Anaknya Kerry, yang tadinya sibuk mengelola KidZania dan klub basket Hangtuah, juga ikut nyemplung ke dalam drum solar korupsi.
Lewat PT Navigator Khatulistiwa, ia diduga mengambil keuntungan dari mark-up kontrak pengiriman minyak. Akibat ulahnya, negara dirugikan Rp 193,7 triliun, plus kepercayaan rakyat yang sudah rembes sejak skandal pertama muncul.
Kini, Riza menjadi buronan negara. Ia tiga kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Diduga kuat berada di Singapura, mungkin sedang menikmati sarapan roti lapis sambil membaca berita tentang dirinya dengan ekspresi datar. Seolah-olah kata “tersangka” hanya ejaan alternatif dari “terlalu sukses.”
Di sinilah letak ironi yang paling manis sekaligus paling pahit. Seorang yang dulu bisa menggerakkan Pertamina dari balik layar, kini tak bisa menggerakkan kakinya ke Gedung Bundar Kejagung.
Seorang yang dulu bisa menaikkan harga minyak sedunia, kini bahkan tak sanggup menjelaskan mengapa negara kehilangan Rp 478,7 triliun hanya dari skema-skema absurd level dewa-dewa mark-up.
Riza yang dulu dipuja, kini jadi dongeng pahit untuk para mahasiswa hukum dan auditor muda. Ia yang dulu tak tersentuh, kini hanyalah nama dalam daftar DPO.
Dunia migas itu licin. Muhammad Riza Chalid, Sang Raja Minyak, akhirnya terpeleset di kolam solar bikinannya sendiri.
Namun, ia masih tersenyum karena di Singapura, hukum di sini tak bisa menyentuhnya. Ia tetap bisa mengendalikan minyak lewat jari-jari saktinya.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]