Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
DI SUDUT negeri yang terus melafalkan janji, kisah seorang guru bernama Supriyani meneteskan luka pilu.
Takdir, entah bersurat entah berselingkuh, menjadikannya simbol derita yang disuguhkan pada piring kemunafikan birokrasi.
Tulisan ini untuk kesekian kalinya tentang Supriani. Belum cukup deritanya dikriminalisasi, lalu dijanjikan lulus PPPK oleh Menteri Abdul Mukti.
Ternyata, janji tinggal janji. Sambil ditemani segelas Americano Sambas, yok kita kulik lagi kisah sedih guru honor yang belum keluar dari derita.
Supriyani, perempuan tangguh yang telah mendidik anak bangsa selama 16 tahun di SDN 4 Baito. Tapi apa balasannya? Bukan penghormatan, bukan pula pengakuan. Sebaliknya, hanya tulisan dingin di layar pengumuman, “R3. Non-ASN Terdata. Tidak Lulus.”
Padahal, nama Supriyani telah dibalut dengan janji suci dari sang Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti. Ya, janji. Bukankah janji adalah mantra paling ampuh yang kerap dilupakan setelah tujuan tercapai?
Menteri itu, dengan segala wewenang dan retorikanya, pernah berkata, “Dia akan diluluskan secara afirmatif.” Namun, realitas berkata lain. Nilainya 478 dari 670. Cukup tinggi, tapi tidak cukup untuk lulus. Begitulah sistem menertawakan perjuangan.
Kepala sekolahnya, Sanaali, bahkan terperanjat mendengar kabar ini. “Bukannya sudah ada komitmen?” tanyanya, polos tapi penuh getir. Siapa yang bisa menjawab? Apakah birokrasi memiliki wajah untuk menjawab? Atau hanya topeng yang berganti-ganti?
Dunia Supriyani seakan runtuh. Setiap malamnya kini dihantui pertanyaan, “Apa salahku?” Tidak cukupkah 16 tahun mengabdi? Tidak cukupkah ia melewati ujian demi ujian?
Tidak cukupkah ia mempersiapkan diri di tengah kriminalisasi yang menjeratnya? Kasus tuduhan penganiayaan terhadap muridnya, yang entah benar entah rekayasa, menjadi beban tambahan yang menyesakkan.
Ironi ini menggantung di udara seperti senja yang kehilangan warna. Menteri pernah berkata, “Kami akan bantu afirmasi.” Tapi, seperti banyak kata yang terucap tanpa makna, janji itu hanyalah angin yang berhembus, lalu lenyap.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun turut angkat bicara, menyuarakan keadilan untuk Supriyani. Namun, suara mereka seperti bisikan di tengah badai.
Adakah yang peduli? Atau ini hanyalah drama kecil di panggung besar bernama Indonesia? Guru, yang seharusnya menjadi pelita, kini menjadi korban. Supriyani hanya satu dari ribuan kisah serupa. Para pengabdi yang tak pernah dihitung, kecuali ketika kampanye datang mengetuk.
Penguasa berdiri di podium, melontarkan pidato penuh pujian kepada guru-guru. Mereka disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi bukankah pahlawan, setidaknya, layak mendapatkan pengakuan?
Supriyani tak meminta banyak. Hanya keadilan. Hanya penghargaan atas dedikasi yang telah ia berikan.
Namun, mungkin memang begini nasib orang kecil. Dalam skema besar kekuasaan, mereka hanyalah pion yang bisa digeser, diabaikan, atau bahkan dikorbankan.
Supriyani menangis, tapi tangisnya tenggelam dalam gemuruh tepuk tangan bagi janji-janji yang tak pernah ditepati.
Begitulah, hidup terus berjalan. Bagi Supriyani, harapan adalah candu yang membuatnya tetap berdiri. Bagi kita, mungkin ini hanya berita yang lewat begitu saja.
Tapi ingatlah, ketika kita membiarkan satu janji dilanggar, kita membuka jalan untuk seribu kebohongan berikutnya.
#camanewak