Momen Berburu THR

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

MENJELANG Lebaran, suasana berubah jadi medan pertempuran. Bukan perang fisik, bukan juga perang dingin, ini adalah perburuan THR.

Sebuah ajang survival tingkat tinggi yang menentukan apakah seseorang bisa menyantap ketupat dengan gulai kambing atau hanya mampu menelan ludah sambil nonton tetangga pesta opor ayam.

Bagi ASN dan pegawai BUMN, urusan THR mah gampang. Tinggal nunggu notifikasi transfer dari pemerintah, dan cling! saldo bertambah. Pegawai swasta pun, meski kadang THR datangnya telat kayak sinyal di hutan, setidaknya ada harapan.

Tapi gimana nasib mereka yang hidupnya serba abu-abu, yang penghasilannya kayak ilusi, ada tapi nggak jelas bentuknya?

Selamat datang di dunia para pejuang THR non-formal! Level 1, Ormas (tidak semua), master strategi proposal. Ormas itu kalau soal kreativitas, jangan ditanya. Mereka bisa bikin proposal kayak bikin puisi cinta, manis di awal, penuh janji di tengah, dan ambigu di akhir.

Proposal dibuat rapi, kop surat resmi, tanda tangan basah, stempel ormas, pokoknya terkesan serius banget. Sasarannya? Siapa saja yang kelihatan tebal kantongnya.

Perusahaan besar? Kirim proposal. Toko kelontong? Kirim proposal. Warung kopi? Kirim proposal. Pejabat? Jangan sampai kelewat.

Yang lebih menarik adalah bagian follow-up-nya. Kalau proposal sudah dikirim dan belum ada tanggapan dalam 24 jam, langsung lanjut ke strategi lanjutan, serangan telepon dan WhatsApp. Isi pesannya biasanya ramah tapi penuh tekanan psikologis,

“Selamat siang, Pak/Bu. Mohon maaf mengganggu, ini soal proposal kami untuk acara halal bihalal… Semoga berkenan ya. Salam sukses dan sehat selalu!”

Terjemahannya? “Ayo, kapan THR kami cair?”

Yang dapet respons baik biasanya langsung dibalas dengan kiriman air kaleng atau amplop isi 50 ribu. Tapi kalau hoki, bisa dapat 100 ribu atau bahkan 500 ribu. Kalau dapatnya lebih dari lima orang? Wah, sudah cukup buat beli baju baru dan bayar tukang cukur.

Level 2, Wartawan (tidak semua), Elite Hunter. Ini level lebih tinggi. Wartawan yang punya kantor resmi sih aman, biasanya THR sudah diurus manajemen. Tapi yang statusnya “wartawan lepas” atau “media independen” nah, ini yang bikin panas dingin.

Modal mereka? Kartu pers yang entah terdaftar atau tidak, dan kemampuan berbasa-basi tingkat dewa. Sasarannya? Pejabat, kepala dinas, kepala desa, kepala sekolah, bahkan tukang parkir kalau kelihatan punya dompet tebal.

Strateginya simpel tapi efektif; datang dengan wajah ramah, Basa-basi sedikit soal berita atau isu terkini. Ujung-ujungnya kasih kode halus, “Oh iya Pak, ini THR-nya gimana?”

Kalau pejabatnya peka, langsung keluar amplop. Tapi kalau pejabatnya cuek, tinggal tambah tekanan psikologis, “Wah, katanya Pak X ngasih THR 500 ribu loh, Pak…”

Biasanya langsung ter-trigger. Kalau nggak dikasih amplop, minimal dapat air kaleng satu krat. Ya, siapa tahu itu bisa bikin hati adem.

Pejabat yang cerdas pasti sudah hafal pola ini. Makanya, menjelang Lebaran, ponsel pejabat mendadak kayak masuk dead zone. Kalau ditelpon, nada sambungnya, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”

Kalau kebetulan kepepet dan terpaksa harus angkat telepon, jawabannya diplomatis, “Wah, saya lagi banyak pengeluaran nih. Tapi nanti ya, kita atur.”

Kalau terus ditekan? Strategi pamungkas keluar: Ghosting Total. WA dibaca tapi nggak dibalas.
Ditelepon, nggak diangkat. Kalau ketemu langsung di jalan? Senyum tipis sambil bilang, “Nanti ya, nanti.”

Puncaknya? Tiga hari sebelum Lebaran.
Suasana makin panas. Ada yang berani ngetuk rumah pejabat subuh-subuh. Ada yang sampai berbaris di depan kantor kepala dinas kayak antre sembako. Ada juga yang bawa sanak saudara buat nambah efek dramatis. Kalau sudah begini, pejabat yang nggak kuat mental biasanya langsung ngalah dan kasih amplop.

Tapi kalau pejabatnya tipe keras kepala, ya… siap-siap aja lihat orang pulang dengan muka penuh dendam.

Kalau semua strategi gagal, masih ada cara terakhir, nebeng makan di rumah orang kaya.
Biasanya dimulai dari basa-basi WhatsApp, “Assalamu’alaikum, selamat Idulfitri ya. Kapan nih bisa silaturahmi?”

Kalau dijawab, berarti ada peluang. Begitu datang, langsung duduk manis di ruang tamu, ngobrol ngalor-ngidul, dan saat hidangan dikeluarkan… langsung pajoh dengan taktik ninja. Pajoh ketupat, pajoh rendang, pajoh opor, pajoh es buah semua dimakan dengan elegan.

Kalau beruntung, pas pamit pulang bisa dapat oleh-oleh THR juga. Tapi kalau nggak? Setidaknya perut kenyang, hati senang, dan semangat bertahan hidup tetap terjaga.

Berburu THR bukan soal uang semata. Ini soal harga diri, gengsi, dan kemampuan bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan sosial. Jadi, kalau tahun ini THR nggak cair juga, tenang… Masih ada solusi terakhir, datang ke open house rumah pejabat, pajoh sepuasnya, dan pulang dengan wajah penuh kemenangan!

#camanewak