Giliran Ulama

Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, Dr. Rosadi Jamani

GERAKAN keprihatinan bangsa, saya kira hanya kalangan sivitas akademika saja. Dikira guru besar, dosen, dan mahasiswa saja bersuara lantang.

Ternyata kalangan ulama tak tinggal diam juga. Para ulama tak kalah keras menyoroti segala persoalan bangsa yang dipimpin oleh Presiden Jokowi.

Sebanyak 14 organisasi masyarakat (ormas) yang tergabung sebagai anggota Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) menyampaikan sembilan poin petisi ulama untuk demokrasi dan keadilan sosial.

Siapa pemimpin ulama ini? Dialah K.H. Said Aqil Siroj. Manta Ketua Tanfiziah NU ni bos, senggol dong. Tokoh besar ikut merasakan keprihatinan terhadap demokrasi Indonesia.

Pada point keempat, LPOI mendesak penyelenggaraan Pemilu 2024 secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, adil, damai, dan menolak berbagai intervensi oknum penyelenggara negara dalam Pilpres 2024, serta menghentikan pemihakan oknum penyelenggara negara terhadap salah satu pasangan calon.

Saya fokus di sini, dan publik tahu ke mana arah dan calon tertentu dimaksud. Udah tahu kan? Ya, yang itulah yang kampanye cukup dilakukan penguasa negeri ini.

Ulama juga mencium aroma tak sedap jalannya Pemilu. Aroma ketidaknetralan sangat terasa. Memang tak bisa dibuktikan, apalagi dilaporkan ke Bawaslu. Aparat pemerintah yang semestinya netral seperti dipaksa mengarahkan pada capres tertentu.

Fenomena ini bisa dirasakan, tapi tak bisa dibuktikan. Karena, dibungkus sangat rapi. Contoh, ajakan gubernur agar memilih capres pro IKN, betapa tidak netralnya pemimpin daerah.

Bawaslu saja tak bisa memprosesnya. Belum lagi presiden, mengguyur Jateng dengan Bansos yang oleh Tempo untuk menaikkan survei capres tertentu.

Banyak lagi kasus serupa, tapi tak bisa ditindak, karena memang tak bisa. Siapa berani menindak penguasa, hayo…! Ada pelanggaran tapi tak bisa diproses. Ada pelanggaran tapi tak ada sanksi.

Semua itu juga dirasakan para ulama. Di bawah komando Kiyai Said mengingatkan pemerintah, penyelenggara Pemilu, serta aparat untuk netral. Jangan lain di mulut lain di lapangan. Mulut bilang netral, nyatanya berpihak.

Ulama sejati sangat menjunjung tinggi moral dan etika. Bahkan, menempatkan etika itu di atas ilmu. Ketika persoalan etika sudah tidak dihiraukan, wajar apabila mereka bersuara lantang seperti halnya para guru besar.

Setiap hari mereka mengajarkan pentingnya etika dan moral, eh di luar pondok malah etika diabaikan begitu saja. Mereka para penegak etika, bukan pencari kekuasaan. Mereka penegak moral, bukan penjilat oligarki.

Satu hal lagi, Jusuf Kalla mantan Wapres dua periode menyebut Pemilu 2024 yang terburuk dalam sejarah. Bayangkan seperti itu penilaian tokoh besar ini. Kenapa? Karena muara utamanya soal etika yang diabaikan dan dianggap tidak ada persoalan.

Kasus etika di MK dan KPU itu bukti nyata betapa etika benar-benar tiada arti. Anehnya, Pemilu masih tetap jalan di tengah krisis integritas penyelenggara pesta demokrasi. Tokoh bangsa banyak menyuarakan hal serupa. Mereka hanya menginginkan demokrasi berjalan sebaik mungkin.

Pencoblosan tinggal menghitung hari. Saya yakin, semua sudah punya pilihan. Masa belum sih, wong yang mau dipilih wara-wiri di depan mata.

Saya juga sudah, alhamdulillah.

Bagi kalangan akademisi dan ulama jangan ragukan soal hati nuraninya. Mereka pasti memilih Capres anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Saya juga, tak tahulah dengan ente.

#camanewak