Jakarta, radar-kalbar.com -Revolusi Informasi yang diawali dengan perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara pandang dan cara hidup manusia di dunia, termasuk manusia Indonesia.
Diantara banyaknya kemudahan dan kebaikan yang dihasilkan era revolusi informasi, terdapat dampak negatif dalam kehidupan manusia.
Salah satu dampak negatif itu adalah tercerabutnya orang-orang dari akar budaya dan kearifan yang menjadi warisan luhur. Melihat kecenderungan itu, lima tahun yang lalu, empat perempuan menggagas komunitas Perempuan Berkebaya.
Komunitas ini mengkampanyekan gerakan sosial berbusana nasional yang menjadi salah satu jawaban perlunya kaum perempuan berada di garis depan mengaktualisasikan kembali budaya Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Langkah itu dilakukan mulai dengan mengembalikan kebaya yang dipadu dengan kain, sarung, atau bahkan rok dan celana panjang, sebagai busana sehari-hari.
Kebaya dalam pemahaman gerakan Perempuan Berkebaya bukan sekadar selembar pakain tetapi bermakna filosofis, simbol perjuangan untuk mengembalikan budaya Indonesia sebagai gaya hidup seluruh masyarakat Indonesia.
Perempuan Berkebaya meyakini, budaya sebagai representasi hidup masyarakat yang menyimpan karakter, simbolisme, serta pandangan hidup masyarakat. Untuk itu, setiap orang yang memutuskan bergabung dalam komunitas Perempuan Berkebaya dalam jati dirinya perlu kembali mengaktualisasikan budaya Indonesia.
“Kebaya adalah salah satu simbol identitas bangsa tentang ke-Indonesiaan karena ia tak hanya milik suku tertentu serta pernah digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah,” Lia Nathalia, salah satu pendiri Perempuan Berkebaya.
Masih banyak nilai budaya yang harus digali dari Indonesia seperti sopan santun, penghormatan pada yang lebih tua, gotong royong, menghargai sesama, dan masih banyak nilai luhur lainnya yang harus diaktualisasikan kembali. Inilah pekerjaan besar yang masih harus dilakukan kerja-kerja sosial bersama antara komunitas Perempuan Berkebaya dan berbagai kelompok masyarakat.
“Dengan berkebaya dan berkain, kami ingin mengingatkan bahwa Indonesia memiliki busana nasional yaitu kebaya,” Tuti Marlina, pendiri komunitas Perempuan Berkebaya.
Acara syukuran juga diisi denga fashion show kebaya yang sesuai dengan tema kali ini yaitu kebaya vintage. Para model berasal dari para anggota dan komunitas lainnya termasuk komunitas Nguri Uri Budaya, Chattra Kebaya dan komunitas Cinta Kebaya dan Budaya.
Acara syukuran juga disertai dengan _mini-talk show_ mengenai Etika dan Estetika Berkebaya dengan pembicaraan Ibu Mumu Wahyu.
Acara yang berlangsung santai, diiringi musik keroncong dari kelompok musik keroncong Warung Solo.
Terpilih pula enam pemenang untuk kategori Perempuan Berkebaya Vintage.
*Latar Belakang*
Komunitas Perempuan Berkebaya (PB) digagas oleh Kristin Samah, Rahmi Hidayati, Tuti Marlina dan Lia Nathalia pada tanggal 4 Desember 2014 di Jakarta. Nama Perempuan Berkebaya dipilih setelah para penggagas berembuk untuk menentukan nama komunitas. Pada awalnya muncul usulan Perempuan Berkebaya oleh Kristin Samah, Gaya-gaya Kebaya oleh Rahmi Hidayati, Kebaya Indonesia oleh Tuti Marlina dan Kebaya Nusantara oleh Lia Nathalia. Setelah keempat penggagas berembuk, maka disepakatilah nama Perempuan Berkebaya dengan pertimbangan lebih _ear-catching_ dan belum ada komunitas manapun yang menggunakan nama Perempuan Berkebaya sebelumnya
Anggota PB adalah siapa saja yang peduli dengan kebaya sebagai busana nasional identitas bangsa dan mau bergerak bersama-sama untuk melestarikannya. Pada perkembangannya, anggota komunitas PB tidak hanya di Jakarta, tapi juga telah menular ke daerah-daerah lain, seperti PB Bogor, PB Ambarawa, PB Yogyakarta dan PB Bali.
Tahun ini adalah ulang tahun ke-5 Perempuan Berkebaya. Dengan menggelar acara syukuran di Museum Kebangkitan Nasional – Jakarta Pusat, PB berharap semoga gerakan sosial ini menjadi pengingat bagi para perempuan Indonesia agar kembali berbusana kebaya sebagai busana nasional identitas bangsa sebagaimana ibu atau nenek kita dahulu.
Sumber : press release