Oleh : Dr. Rosadi Jamani
(Dosen UNU Kalimantan Barat)
“Kalau udah tiga lawan satu, bagos tidok jak. Pasti menang yang satu itu,” kata teman ngopi.
Ungkapan itu sangat lazim di Pilgub Kalbar. Ada lagi begini, “Ramainye yang nak maju. Hanya mecah suare jak.” Orang Kalbar pasti paham ungkapan itu. Sengaja saya samarkan, sebab sangat terkait dengan isu suku, agama, dan ras.
Kelompok yang dominan, ingin satu calon saja. Sementara yang minoritas ingin juga begitu. Bila perlu lawan yang mayoritas, banyak calonnya.
Kisah semacam ini masih ada sampai sekarang. Jelang Pilgub pada 22 November depan, isu soal suku selalu menghiasinya. Kadang ada mengkaitkan dengan aqidah atau keyakinan segala. Padahal, ini even politik, bukan even yang lain.
Coba perhatikan siapa saja yang daftar di Partai Demokrat, ada enam figur. Sutarmidji, Ria Norsan, Maman Abdurahman, Muda Mahendrawan, Herzaky Mahendra Putra, dan Lasarus.
Keenamnya putra terbaik Kalbar. Salah satunya itu pasti menjadi orang nomor satu di Bumi Khatulistiwa. Ketika terpilih, ia tak lagi milik satu suku, agama, atau ras melainkan untuk orang Kalbar semua.
Berkaca pada Pemilu kemarin, isu suku dan agama hampir tak berpengaruh. Kalau berpengaruh, orang Sambas pasti ada duduk di Senayan. Orang keturunan Tionghoa ada duduk di DPD RI.
Orang memilih kebanyakan karena orang itu punya bukti nyata berbuat untuk masyarakat. Yang lazim, karena banyaknya uang dihamburkan. Yang pelit atau setengah-setengah, umumnya tersingkir.
Ada sih yang milih, cuma sedikit. Banyak tokoh agama ikut bertarung, sayangnya rata-rata tak berdaya menghadapi caleg berkantong tebal. Kalau sudah duit bicara, minggir dulu cerita suku dan sejenisnya.
Benang merahnya, keterpilihan seseorang karena kekuatan nama besar (rekam jejak) plus kantong tebal. Bila dua elemen ini bersatu, dijamin terpilih. Dua kekuatan inilah yang paling dominan nanti, bukan SARA.
“Kalau itukan pemilihan legislatif, Bang. Beda dengan eksekutif atau Pilkada, suku dan agama tetap lebih dominan,” kata kawan seorang jurnalis lewat WA.
Saya memang tak menafikan isu suku dan agama. Memang akan ada orang memilih karena kesamaan suku dan agama. Memang ada, cuma sudah memudar. Perlu diketahui, mesin utama even politik itu adalah partai politik (Parpol).
Parpol inilah yang menggerakan mesin mulai dari provinsi sampai ke kampung. Mereka menyiapkan tim sukses secara berjenjang. Mereka juga yang merayu masyarakat agar milih kandidatnya.
Di dalam parpol pengusung itu tak ada namanya SARA. Semua satu tujuan, memenangkan calon gubernurnya. Mereka akan masuk ke semua lapisan masyarakat. Untuk menggerakkan mesin itu, perlu bensin atau ongkos yang besar.
Di sinilah kantong tebal diperlukan untuk melakukan penetrasi. Kantong tipis, mesin politik tak bisa digerakkan. Di sebelah joget-joget, malah diam baek.
Sudah bukan zamannya hanya jualan “liur”. “Dia itu urang kite. Wajib kite pileh!” Udah begitu saja, siap-siap “diperakkan” orang. Tetap ditunggu arus bawah, “Buah sawit kayu ara. Ada duit ada suara.”
Tinggal diukur saja kekuatan finansial enam figur yang sudah daftar itu. Terbaru, Ria Norsan sudah berikan sinyal ingin maju sendiri. Tak mau berpasangan dengan Sutarmidji.
Ia sepertinya pede. Kenapa? Karena, kekuatan finansial mantan penguasa Mempawah dua periode tak berseri. Sejauh ini Norsan ingin nomor satu bukan lagi nomor dua.
Herzaky dan Muda juga sudah kembalikan berkas ke Demokrat. Tanda keduanya memang serius maju. Herzaky mengambil celah isu “Kaum Muda”. Sementara Muda akan mengambil isu “Membangun Desa” yang dari dulu jadi andalannya. Terbaru, ia ingin mendunia.
Untuk Sutarmidji, Maman, dan Lasarus hanya menunggu waktu kembalikan berkas.
Saya pastikan ketiganya juga serius maju. Kalau pun tak mengembalikan berkas, mereka masih menunggu parpol lain buka pendaftaran.
Kesempatan masih terbuka lebar. Kalau ente mau daftar masih bisa. Masih ada PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKS, PKB, Hanura, dan PPP yang dalam waktu dekat akan buka pendaftaran juga. Tinggal siapkan diri untuk daftar. Gitu wak.