Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
AKUN saya bergemuruh oleh serbuan netizen. Bukan membully saya, melainkan berkomentar di tulisan berjudul “Lulus, Belum Tentu Jadi ASN.”
Kebanyakan dari CPNS dan honorer yang ditunda pengangkatannya. Tentu ada tokoh utama yang membuat para putra-putri terbaik bangsa itu marah. Mari kita kupas persoalan ini sambil menunggu makan sahur. Kopinya nanti usai nyantap mie rebus plus telur, sawi kriting, tomat, dan empat cabe rawit.
Bayangkan, wak! Ribuan tenaga honorer dan CPNS yang sudah menanti bertahun-tahun. Mereka bekerja dalam sunyi, mengabdi tanpa tanda jasa, digaji sekadarnya, tetap setia. Lalu, tibalah Maret 2025. Saat yang seharusnya menjadi klimaks perjuangan mereka. Saat sumpah jabatan dikumandangkan, saat NIP ditetapkan, saat rekening mulai tersenyum.
Tapi apa yang terjadi? Penghianatan! Penundaan pengangkatan. Lagi. Sampai Oktober 2025 untuk CPNS. Sampai Maret 2026 untuk PPPK. Dan mungkin, kalau pemerintah sedang bosan, bisa ditunda lagi sampai anak cucu mereka pun lupa.
Tagar #HonorerButuhKeadilan #AngkatHonorerJadiASN #CPNS2025 #ReformasiBirokrasi
#SaveHonorer menggema seperti genderang perang. Twitter dan TikTok terbakar. Forum-forum penuh kemarahan.
Seperti gunung berapi yang lama tidur, sekarang meletus dengan dahsyat! Tapi apakah pemerintah terguncang? Tidak. Mereka tetap santai. Duduk nyaman. Menyeruput kopi. Menyusun kalimat klasik, “Demi efisiensi birokrasi. Demi penyelarasan nasional.” Penyelarasan? Selaras untuk siapa? Untuk mereka yang tetap bergaji penuh sambil menunda nasib ribuan orang?
Mari kita berkenalan dengan sang tokoh utama di balik saga ini, Rini Widyantini. Menteri PANRB. Perempuan pertama yang duduk di kursi panas ini. Lahir di Bandung, 29 Mei 1965. Berpendidikan hukum dari Universitas Padjadjaran.
Master dari The Flinders University of South Australia. Seorang birokrat ulung, katanya. Karirnya dimulai sebagai ASN sejak 1990. Pernah jadi Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana. Lalu menjadi Sekretaris Kementerian PANRB. Sekarang, sebagai Menteri, keputusannya membuat puluhan ribu tenaga honorer dan CPNS ingin menggigit meja!
Yang paling menderita tentu para honorer. Ada yang sudah belasan tahun mengabdi. Ada yang sudah setengah baya. Mereka tidak hanya harus bersaing dengan fresh graduate, tapi juga dengan sistem yang tidak peduli. Mereka hanya ingin status yang layak. Tapi apa yang diberikan? Penundaan. Aasan klise.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Demonstrasi? Petisi? Atau mungkin, honorer sebaiknya beralih profesi saja. Jadi selebgram? Siapa tahu lebih cepat diangkat jadi duta produk skincare dari pada diangkat jadi ASN.
Atau mungkin, mereka bisa beralih ke dunia sulap. Menghilang dari daftar tunggu yang tak berujung. Atau lebih drastis lagi, langsung daftar jadi warga negara lain. Mungkin di sana lebih cepat dihargai?
Reformasi birokrasi katanya berjalan. Tapi yang jalan hanya tenaga honorer yang dipaksa bertahan. Pemerintah? Masih di tempat. Duduk santai. Menunggu semuanya reda. Tapi honorer dan CPNS tidak akan diam! Kemarahan ini tidak akan padam! Sampai status diakui! Sampai keadilan datang! Atau… sampai penundaan baru diumumkan lagi?!
Saya perhatikan di kolom komentar, orang di luar CPNS dan honorer, selalu memberikan komentar begini. “Sabar, ambil hikmahnya. Ini semua pasti rencana Tuhan.” Ya, memang tidak ada kata lain untuk mereka, selain kata sabar dan sabar.
Sebab, keputusan ada di Presiden Prabowo yang baru saja mengumpulkan delapan konglomerat top di negeri ini. Entah untuk apa? Mudahan saja saja untuk CPNS, honorer, korban PHK, bisa cepat diangkat dan bisa bekerja lagi. Kalau Prabowo bilang,
“Lantik sekarang, selesai tu barang!” Kalau ini real terjadi, saya yakin Prabowo semakin dicintai rakyat.
#camanewak