Oleh : Ady Setiawan
[Alumni Universitas Tanjungpura / peserta Latsar CPNS LAN RI Angkatan II]
MEMBELA negara, selain alasan mulia dan luhur, juga amanah UUD RI 1945 dimana setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Kementerian Pertahanan RI merencanakan pendidikan bela negara dan merekrut 100 juta kader bela negara dalam 10 tahun (Kemenhan, 2015 dan Setkab, 2017) atau 833.000 kader bela negara setiap bulannya, sementara diketahui bahwa kapasitas pusat Pendidikan dan Pelatihan Bela Negara pada Kementerian Pertahanan masih sangat terbatas.
Ditegaskan pula bahwa pendidikan bela negara, bukan wajib militer atau militerisasi sipil. Menhan RI periode sebelumnya, Ryamizard Ryacudu, pada 2019 mengatakan pendidikan bela negara ini penting untuk memupuk jiwa nasionalisme dan semangat membela negara.
Tujuan dari program pendidikan bela negara tersebut adalah menumbuhkan lima nilai dasar, yakni: rasa cinta tanah air, rela berkorban, sadar berbangsa dan bernegara, meyakini Pancasila sebagai ideologi negara, serta memiliki kemampuan awal bela negara secara fisik dan nonfisik yang diajarkan melalui antara lain baris berbaris (LAN RI, 2019).
Sepertinya tujuan pendidikan bela negara tersebut di atas terdapat dalam materi pelajaran dan sudah diajarkan di hampir semua jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi, dan disampaikan melalui jalur pendidikan non formal, seperti gerakan pramuka.
Pertanyaannya, materi pembelajaran bela negara yang mana lagi?.
Namun ketika bicara pembentukan mentalitas dan karakter bangsa, rasanya strategi pembelajaran akan jauh lebih penting dari pada sekadar materi pembelajaran yang menyampaikan nilai-nilai karakter bangsa, dan saat ini implementasi strategi pembelajaran di lembaga pendidikan, mulai persekolahan hingga perguruan tinggi mengalami kemajuan pesat, dari indoktrinasi ke dialektika serta dari pendekatan behavioristik ke konstruktivistik.
Data Litbang Kompas (2019) yang melakukan penelitian kepada 500 orang lebih dengan sampel acak dari berbagai daerah di Indonesia menanyakan seputar urgensi pendidikan bela negara menunjukkan bahwa 85,5% menjawab perlu diberikan pendidikan bela negara, 12,1% menjawab tidak perlu, dan sisanya 2,4% memilih jawaban tidak tahu.
Satu pertimbangan pentingnya pendidikan bela negara karena diperlukan kader bela negara yang memadai. Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin, Guru Besar FISIP UGM, menyebutkan idealnya jumlah prajurit TNI sekitar 2 juta atau sekitar 1% dari total jumlah penduduk.
Namun fakta hari ini, jumlah personel aktif TNI hanya sekitar 400 ribu (Tempo, 2022). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk saat ini sekitar 270juta orang, maka seorang prajurit menjaga sehikat 650 WNI atau 1:650, artinya jumlah prajurit masih terlalu sedikit untuk menjaga warga negara yang jumlahnya besar ini.
Semestinya seorang prajurit menjaga wilayah NKRI seluas 8 meter persegi, namun faktanya hari ini, lebih dari 3 kilometer.
Oleh karena itu diperlukan komponen cadangan yang direkrut melalui program pendidikan bela negara ini.
Pendidikan bela negara menanamkan berbagai nilai berkaitan dengan upaya bela negara, salah satunya pentingnya kesiapsiagaan dalam membela negara.
Hal ini menjadi salah satu cara untuk menjaga keutuhan NKRI, terutama di tengah dinamika global yang terus berubah. Generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, memiliki peran strategis dalam mengemban tugas ini. Namun, bagaimana kesiapsiagaan ini diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari?.
Ekspresi Bela Negara
Pembela negara tidak terbatas pada personel militer saja. Setiap warga negara, sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945, memiliki hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Ini berarti, semua elemen masyarakat, dari berbagai profesi dan latar belakang, memiliki kewajiban untuk berperan aktif dalam menjaga keutuhan bangsa.
Pembela negara bisa seorang dokter yang bekerja di daerah terpencil, guru yang mendidik generasi penerus, hingga pekerja teknologi yang menjaga keamanan data negara.
Bagi generasi muda, kesadaran untuk turut serta dalam bela negara menjadi penting. Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini tidak hanya berupa ancaman militer, tetapi juga non-militer seperti perang siber, ideologi asing yang dapat memecah belah bangsa, dan bencana alam.
Oleh karena itu, Gen Z dan milenial harus memahami bahwa mereka adalah bagian penting dari barisan pembela negara.
Pembaca tentu setuju bahwa upaya membela negara bukan semata-mata tentang angkat senjata. Ada berbagai cara bagi warga negara untuk berperan dalam upaya pembelaan negara.
Pendidikan bela negara dapat dimulai dari hal-hal sederhana seperti mematuhi hukum, disiplin, peduli terhadap lingkungan, hingga menjadi agen penyebar informasi yang benar di era digital.
Menurut Wahyudi Djafar, seorang peneliti dari ElSAM, usaha pertahanan dan keamanan negara lebih efektif dan efisien dilakukan dengan memperhatikan potensi ancaman terhadap negara di era digital ini, yakni ancaman perang siber.
Dalam konteks Gen Z dan milenial yang akrab dengan teknologi, salah satu bentuk bela negara yang relevan adalah dengan melawan hoaks dan disinformasi. Penggunaan media sosial secara bijak, menyebarkan konten positif, serta menjadi sumber inspirasi bagi orang lain dapat menjadi kontribusi yang signifikan.
Selain itu, berperan aktif dalam kegiatan sosial, seperti kegiatan kemanusiaan atau kerja bakti, juga merupakan bentuk nyata dari bela negara.
Prestasi Timnas Indonesia menahan imbang lawan Arab Saudi pada kualifikasi lanjutan Piala Dunia adalah sebuah prestasi dan perlu disebarluaskan melalui konten-konten positif di media sosial.
Kesejukan toleransi dan penghargaan antartokoh yang tercermin saat pertemuan Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, beberapa hari lalu juga menjadi salah satu konten positif yang sangat perlu disebarluaskan sekaligus menjadi upaya membela negara dan meyakinkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang damai dan amat sangat toleran.
Respon generasi muda terhadap perkembangan Keputusan dan kebijakan pemerintah yang dituangkan melalui sosial media juga menjadi bagian dari upaya membela negara agar dapat terus berjalan sesuai koridor dalam mencapai tujuan pendiriannya. Serta berbagai ekspresi lainnya yang begitu beragam ditunjukkan oleh generasi muda, baik dari kalangan generasi milenial maupun gen Z – yang percalayah – semua menunjukkan upaya dalam membela negaranya.
Pendidikan dan Bela Negara
Pembaca kali ini juga mungkin setuju jika terdapat asumsi bahwa kualitas kecintaan warga negara terhadap negaranya tidak dapat dipastikan hanya karena telah mengikuti program pendidikan bela negara ini, bahkan boleh jadi justru sebaliknya.
Sehingga sangat bijak jika saat ini penanaman nilai-nilai budaya juga ditanamkan melalui jalur kurikulum pendidikan sejak prasekolah, tingkat dasar, menengah, hingga tinggi.
Terkhusus pada pendidikan tinggi, bagi mahasiswa diberikan skema khusus bentuk kegiatan pembelajaran bela negara melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, baik dengan skema flagship Kementerian maupun mandiri dari perguruan tinggi masing-masing.
Pada jenjang pendidikan tinggi juga terdapat program kuliah kerja nyata (KKN) kebangsaan yang diselenggarakan setiap tahun.
Tahun lalu, Universitas Tanjungpura menjadi tuan rumah yang menerima seluruh mahasiswa peserta dari berbagai daerah di Indonesia untuk disebar di wilayah Kalimantan Barat, khususnya area perbatasan dengan negara Malaysia.
Tahun ini, kegiatan tersebut dilaksanakan di Provinsi Maluku, Universitas Pattimura sebagai tuan rumahnya. KKN Kebangsaan lebih mengedepankan penanaman wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air kepada mahasiswa melalui pengalaman belajar di masyarakat yang menghubungkan konsep-konsep akademis dengan realita kehidupan.
Disadari bahwa upaya untuk dapat membela negara secara efektif, setiap warga negara perlu memiliki kemampuan dasar. Pendidikan formal dan non-formal di sekolah dan masyarakat dapat menjadi sarana untuk membekali generasi muda dengan keterampilan dasar yang diperlukan.
Program-program seperti Pancasila dan kewarganegaraan, serta pelatihan dasar militer di sekolah-sekolah (meskipun terbatas), merupakan pondasi awal yang dapat membentuk mentalitas bela negara.
Selain pendidikan formal, pelatihan soft skill seperti kemampuan bekerja sama dalam tim, kepemimpinan, dan komunikasi efektif juga penting. Generasi muda yang siap membela negara bukan hanya mereka yang terlatih secara fisik, tetapi juga yang memiliki jiwa kepemimpinan, mampu berpikir kritis, dan cepat tanggap dalam situasi darurat.
Kemenhan dan LAN RI merumuskan beberapa indikator kepemilikan kemampuan dasar dalam bela negara seorang warga negara yaitu :
1) memiliki kemampuan, integritas, dan kepercayaan diri yang tinggi dalam membela bangsa dan negara,
2) mempunyai kemampuan memahami dan mengidentifikasi bentuk-bentuk ancaman di lingkungan masing-masing,
3) senantiasa menjaga kesehatannya sehingga memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik,
4) memiliki kecerdasan emosional dan spiritual serta intelegensi yang tinggi,
5) memiliki pengetahuan tentang kearifan lokal dalam menyikapi setiap ancaman,
Dan 6) memiliki kemampuan dalam memberdayakan kekayaan sumberdaya alam dan keragaman hayati.
Keseluruhan indikator tersebut akan dapat dicapai dan dibentuk melalui proses panjang, bukan melalui proses singkat pada periodik tertentu saja.
Sehingga, penanaman dan perwujudan indikator tersebut akan lebih mudah dicapai melalui jalur proses pembelajaran dan pendidikan yang berjenjang dan berproses pada periode yang cukup panjang.
Komcad bagi Gen Z dan Milenial
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, total populasi Indonesia pada tahun 2020 tercatat 270,2 juta jiwa.
Komposisi penduduk Indonesia pada saat ini didominasi oleh generasi Z dan milenial. Jumlah penduduk generasi Z (yang lahir di rentang tahun 1997-2012) mencapai 74,93 juta jiwa atau 27,94 persen dari total populasi, sedangkan penduduk generasi milenial atau bisa juga disebut generasi Y (yang lahir antara tahun 1981-1996) mencapai 69,38 juta jiwa atau 25,87 persen dari total populasi.
Dengan demikian, kedua generasi tersebut merupakan sumber daya nasional yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kekuatan bangsa yang tangguh dan kokoh di masa depan.
Dari kenyataan inilah, timbul ide/gagasan dari pemerintah untuk melibatkan komponen bangsa lainnya, selain Tentara Nasional Indonesia (TNI), untuk turut serta dalam upaya pertahanan dan keamanan negara.
Pembentukan komponen Cadangan (Komcad) merupakan amanat Undang-UUD 1945 pasal 27 yang mengamanatkan setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara dan pasal 30 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Selain itu, pembentukan Komcad juga merupakan tindak lanjut amanat Undang Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara serta UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara, yang mengamanatkan pembentukan Komcad.
Data Kemenhan RI (Agustus, 2023) menunjukkan bahwa personel Komcad gelombang pertama di 2021 berjumlah 3.103 orang, gelombang kedua di 2022 berjumlah 2.974 orang dan di tahun 2023 sebanyak 2.497 orang.
Maka sejak 2021 sampai dengan 2023, jumlah Komcad yang sudah ditetapkan sebanyak 8.574 orang dan persebarannya ke dalam tiga matra: darat, laut, dan udara. Pada 2024, Kemenhan membuka 1.000 kuota untuk tahap pertama dan akan terus dilanjutkan pada periode berikutnya.
Negara-negara tetangga seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam yang jumlah penduduknya lebih sedikit dari Indonesia sudah lebih dahulu menyelenggarakan Pendidikan bela negara yang bersifat wajib bagi warganya, terutama laki-laki dengan rentang usia 18-27 tahun.
Hal ini berbeda dengan di Indonesia bahwa program komponen cadangan yang sedang diterapkan ini bersifat sukarela (voluntary) dan tidak ada pemaksaan.
Secara eksplisit dapat dipahami bahwa pemerintah telah menyediakan panggung yang legitimate kepada generasi Z dan milenial melalui program Komcad untuk membuktikan ketangguhan dan keandalan sebagai generasi penerus bangsa yang mempunyai tanggung jawab dan etika moral untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara.
Penulis membuat eksperimen terbatas kepada sejumlah generasi Z dan milenial tentang pengetahuannya seputar Komcad. Kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah hampir seluruh responden belum mengetahui tentang Komcad yang saat ini sudah mulai dilaksanakan.
Sehingga menurut hemat penulis program yang sangat baik ini perlu disosialisasikan dengan intens agar mendapat respons positif dari semua kalangan, khususnya generasi Z dan milenial maupun para pemangku kepentingan dan masyarakat secara luas, hingga pada akhirnya dapat mencapai misi dan tujuan yang diharapkan.
Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua generasi muda dapat ikut pada barisan pasukan Komcad dari Tentara Nasional Indonesia mengingat ketersediaan kuota dan kemampuan para unsur penyelenggara.
Sehingga sejatinya upaya untuk turut membela negara dapat dilakukan oleh siapa saja dan melalui profesi apa saja, kapan saja, dan di mana saja untuk senantiasa membela tanah air Indonesia.
Pada akhirnya, kesiapsiagaan bela negara adalah kewajiban kita semua sebagai warga negara Indonesia.
Generasi muda, dengan segala potensi dan semangat yang dimiliki, dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan negara – sesuai karakteristik, cara, dan aktualiasi yang berbeda-beda – menyongsong 80 tahun usia Indonesia dan untuk masa depan bangsa yang berkepanjangan.