FOTO : Ilustrasi foto Maruarar Sirait dan Fahri Hamzah [ ist ]
KITA tinggalkan dulu cerita sang menteri, Maman Abdurrahman yang lagi sibuk membela istrinya. Dua anak buah Prabowo ini lain lagi tabiatnya.
Satu kementerian, malah sibuk berantem argumen, macam rebutan tulang. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula agar otak selalu encer dan waras, wak!
Selamat datang di pertarungan paling dinanti tahun ini! Langsung dari Stadion Kabinet Indonesia Maju, inilah laga paling panas, paling mendebarkan, paling absurd dalam sejarah tata kelola negara.
“Maruarar ‘Si Petarung Rakyat’ Sirait vs Fahri ‘Si Pemberontak Mikrofon’ Hamzah”! Bukan sekadar debat kebijakan, ini perang semesta wacana, duel epik yang bikin rumah rakyat goyang sebelum fondasinya sempat dicor!
Di sudut merah, berdiri tegap dengan gaya khas Gerindra, sang menteri yang terkenal idealis, Ara! Misinya, rumah subsidi minimalis di lahan urban nan sempit, cukup 18 meter persegi! Bagi Ara, yang penting rakyat punya atap, meskipun sempit, yang penting bisa rebahan dan nyimpen galon.
Namun, di sudut biru, penuh semangat revolusioner dan buku UU di tangan, muncul wakil menteri dari Partai Gelora, Fahri Hamzah! Tak terima konsep “rumah kerupuk”, ia melempar hook keras, “UU No. 1 Tahun 2011 bilang rumah subsidi minimal 36 meter persegi! Jangan kau ubah undang-undang jadi status WhatsApp, Lae!”
Gemuruh penonton mengguncang langit DPR. Netizen Gen Z melempar komentar brutal. “Rumah 18 meter itu tempat Barbie tinggal, bukan manusia!” Bahkan muncul istilah baru, Subsi-DIE, rumah subsidi yang lebih kecil dari garasi motor Pak RT.
Pertarungan masuk ronde dua. Ara melayangkan uppercut kebangsaan. “Kita cukup pakai dana dalam negeri! BPI Danantara cukup! Jangan utang ke asing!” Tapi Fahri menghindar lincah, membalas dengan jab tajam. “Lae, kita bisa dapet Rp16 triliun setahun dari World Bank dan ADB! Kenapa nolak rejeki internasional? Ini bukan kedaulatan, ini kejumudan!”
Stadion makin panas. Ring berubah jadi ruang sidang. Presiden mulai panik, pengembang perumahan mulai gigit kuku. Program 3 Juta Rumah per Tahun, janji suci Prabowo-Gibran, kini terancam berubah jadi 3 Juta Drama Tiap Pekan.
Ronde tiga. Fahri melepas kombinasi. “Ayo bikin Omnibus Law Perumahan, kita konsolidasi semua regulasi!” Ara balas dengan tendangan filosofis, “Jangan jadikan hukum sebagai celana panjang yang bisa dipotong sesuka hati!”
Keringat mengucur, nadi debat makin kencang. Di luar ring, masyarakat bingung, “Ini kementerian kerja atau sinetron prime time?” Sementara itu, backlog perumahan tetap menggantung di angka 12,7 juta unit. Rakyat kecil, MBR, milenial, Gen Z, yang hanya ingin rumah sederhana dengan pintu tak berbagi sama WC, kini jadi korban dari ego para petarung elite.
Investor? Lari ke Malaysia. Pengembang? Lebih memilih buka warung ayam geprek. Masyarakat? Masih tinggal di kosan petak beraroma mie instan.
Ketika bel terakhir berbunyi, tidak ada pemenang. Hanya bangkai kebijakan yang tergeletak di tengah ring. Mikrofon patah, draft kebijakan berserakan, dan rakyat hanya bisa tepuk tangan sambil menangis dalam diam.
“Pertarungan ini bukan soal siapa menang,” bisik seorang tukang bangunan, “tapi soal siapa yang ingat bahwa rumah itu bukan panggung adu domba, tapi tempat berteduh dari ributnya dunia.”
Jika rumah rakyat adalah filosofi luhur kemanusiaan, maka kalian berdua adalah penjaga gerbangnya. Tapi tolong, jangan jadi dua bocah rebutan Lego, apalagi di tengah banjir harapan rakyat miskin kota yang cuma mau, atap, tembok, dan kamar mandi yang bisa ditutup pintunya. Jangan sampai rumah rakyat berubah jadi rumah sakit, bukan karena sakit badan, tapi karena sakit hati melihat tingkah kalian.
Sayangnya, di Kementerian Perumahan hari ini, justru rumah itulah yang tak lagi punya atap.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]