Gubernur yang Pertama Kena Demo

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

BARU saja pulang dari retreat di Magelang. Baru saja menyesap udara segar di rumah sendiri. Baru saja menghela napas, menikmati betapa empuknya kursi kekuasaan.

Tapi belum sempat bersandar dengan nyaman, suara gemuruh datang menghantam.

Di halaman kantor gubernur, ratusan guru honorer berkumpul. Wajah-wajah penuh harap, mata-mata penuh tanda tanya, mulut-mulut yang siap meneriakkan ketidakadilan.

Mereka tidak datang untuk berpiknik. Mereka datang dengan amarah yang tertahan, dengan kegelisahan yang tak bisa lagi disimpan.

“Pak, kami dipecat?”

Pertanyaan itu melayang di udara, tajam seperti belati yang siap menembus kenyamanan. Mereka telah mengabdi bertahun-tahun, mengajar di ruang kelas yang sering kali lebih panas dari hati mereka yang kecewa.

Tapi kini, tanpa surat penghargaan, tanpa pesta perpisahan, hanya satu keputusan dari pemerintah pusat yang mengancam, mereka harus pergi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN berbicara dengan dingin, pegawai non-ASN tak boleh diangkat menjadi ASN. Itu artinya, mereka tidak lagi ada dalam skema resmi. Itu artinya, mereka, guru-guru yang setiap hari mendidik generasi penerus, bisa saja lenyap dari sistem.

Mereka bertanya, “Ini akhir bagi kami?”

Tapi gubernur tidak bergeming. Ria Norsan, dengan ketenangan seorang pemimpin yang tahu badai tengah datang, berdiri di hadapan mereka. Suaranya mantap, wajahnya tanpa keraguan.

“Tidak ada yang akan dirumahkan.”

Mendadak, dunia terasa berhenti sejenak. Bibir yang tadi gemetar mulai mengendur. Mata yang penuh keresahan menatap dengan harapan baru.

“Saya pastikan, Bapak-Ibu tetap bisa bekerja,” lanjutnya.

Di antara riuh rendah suasana, janji itu meluncur. Tepat sasaran. Masuk ke dalam hati mereka yang hampir runtuh.

“Tapi bagaimana bisa?”

Mantan Bupati Mempawah itu tahu bahwa aturan dari pusat seperti palu godam. Sekali diketuk, tamat sudah. Tapi ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia memutuskan mengambil langkah berani, langkah yang mungkin akan membuatnya dihujani teguran, mungkin juga sanksi.

Gaji mereka akan tetap dibayarkan. Dari mana? Dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Karena jika semua guru honorer ini benar-benar dihentikan, siapa yang akan mengajar ribuan anak-anak di Kalbar? Apakah negara sudah menyiapkan pengganti? Apakah pendidikan harus dikorbankan demi aturan yang kaku?

Norsan tidak ingin mengambil risiko itu.

“Saya mengambil diskresi dalam hal ini. Artinya, jika nanti pemerintah pusat menyalahkan, saya yang akan bertanggung jawab.”

Sebuah deklarasi yang tidak main-main. Apakah ia baru saja melemparkan dirinya ke dalam kobaran api? Mungkin. Tapi seorang pemimpin, katanya, harus siap menjadi perisai.

Hari ini, di hadapan ratusan guru honorer yang nyaris kehilangan masa depan, ia berdiri sebagai benteng terakhir mereka.

#camanewak