Survei pun Bermain “Politik” Juga

FOTO : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat]

LEMBAGA survei kita memang luar biasa. Dulu, bagaikan dewa-dewi kecil yang diiringi oleh genderang kepercayaan publik.

Seperti ramalan-ramalan kuno, hasil survei disambut dengan keyakinan absolut. Mau yang menang siapa, yang penting lembaga survei sudah berbisik, kita manut saja.

Angka-angka mereka akurat, jitu, tak ada yang meleset. Seolah-olah, mereka mendapat bisikan dari langit atau, ya, minimal dari dapur negara.

Namun, setelah rezim berganti dari Jokowi ke Prabowo, siapa sangka dewa-dewi survei itu tampaknya kehabisan baterai ramalannya.

Objeknya sama, metode katanya masih itu-itu juga, tapi kok hasilnya beda-beda ya? Apa mungkin para respondennya mengalami mutasi atau justru lembaga survei yang mulai galau?

Masalah ini sampai membuat Persepi (Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia) bingung tujuh keliling. Poltracking Indonesia, salah satu pemain di panggung survei, sampai kena sanksi dan dilarang tampil lagi di media.

Seperti aktor yang kena blacklist. Karena merasa dihakimi sepihak, Poltracking akhirnya memilih untuk minggat dari Persepi. Oh, drama, drama. Seperti sinetron kejar tayang, episode demi episode tidak pernah gagal membuat kita terpingkal atau malah berdebar.

Nah, tak sampai di situ saja, Pilkada Jakarta 2024 malah jadi ajang kompetisi para survei. Kini giliran Litbang Kompas dan Parameter Politik Indonesia (PPI) yang unjuk gigi.

Keduanya seakan punya cerita sendiri. Litbang Kompas bilang, paslon nomor 3, Pramono Anung-Rano Karno, unggul dengan elektabilitas 38,3 persen.

Di sisi lain, PPI dengan wajah serius dan penuh percaya diri mengumumkan bahwa RK-Suswono, yang mereka beri julukan RIDO, menguasai panggung dengan 47,8 persen.

Selisih 13,2 persen itu kecil kok, cuma sebesar margin galau rakyat Indonesia menjelang pemilu! Litbang Kompas mencatat ada 23,8 persen pemilih yang masih galau menentukan pilihan.

Sementara menurut PPI hanya 9,9 persen. Hebat, ya, tingkat kebingungan responden bisa beda-beda tergantung dari surveinya. Mungkin survei Litbang Kompas dikerjakan pas responden sedang menikmati gorengan sore. Sementara survei PPI datang saat responden sudah kenyang.

Tentu, para penggemar teori konspirasi di luar sana mulai bersorak-sorai. Apalagi, drama ini makin panjang setelah sebelumnya LSI dan Poltracking juga merilis angka berbeda. LSI mengunggulkan Pramono-Rano dengan 41,6 persen.

Sedangkan Poltracking mantap dengan pilihan pada RK-Suswono yang mencapai 51,6 persen. Bayangkan, ada 10 persen perbedaan untuk angka sebesar itu! Mungkin metode “multistage random sampling” ini yang ajaib. Dia seperti memberi “bonus” angka di setiap survei, agar hasilnya tidak pernah bisa ditebak dan tetap menegangkan.

Maka, wajar bila masyarakat bingung dan terhibur pada saat bersamaan. Pertunjukan ini tidak kalah menarik dengan sinetron politik di layar kaca.

Seandainya survei ini ada kategori “Most Confusing Outcome,” pasti pemenangnya sudah jelas. Dulu lembaga survei adalah mercusuar demokrasi. Sekarang lebih mirip acara kuis tebak-tebakan.

Tapi, sebagai bangsa yang gemar hiburan, mungkin kita justru makin menikmati survei-survei beginian. Lalu siapa yang bakal menang? Saya tak bisa bayangkan, justru hasil survei Poltracking yang jitu.

Wah, bakal rame lagi. Bisa-bisa Persepi-nya jadi pujaan netizen.

#camanewak