Nubuat Menkeu Purbaya, Esoknya Kilang Pertamina Terbakar

FOTO : Ilustrasi [ Ai ]

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

MALAM 1 Oktober 2025, Dumai mendadak jadi panggung opera api. Sekitar pukul 20.30, langit yang biasanya hanya dihiasi bintang, tiba-tiba diguncang dentuman dari Unit Hydrocracking Complex, Kilang Pertamina RU II Dumai.

Ledakan itu bukan sekadar suara, ia menyerupai simfoni apokaliptik yang menggetarkan kaca rumah hingga radius dua kilometer. Api menari seperti naga lapar, asap hitam menutup langit seolah semesta sedang mengganti wallpaper alam dengan filter “gothic nightmare”.

Seru ya, wak. Siapkan kopi tanpa gulanya. Karena, cerita Pertamina semakin seru saja. Lanjut.

Warga panik. Ada yang lari, ada yang syok, ada pula yang refleks merekam demi feed TikTok. Trauma lama bangkit lagi, terutama bagi penghuni ring 1 kilang, manusia yang hidupnya lebih mirip veteran perang ketimbang warga sipil.

Laporan resmi mencatat sembilan orang terdampak, beberapa lansia hampir tumbang, anak-anak batuk, dan udara berubah jadi paket horor gratis. Sepuluh ambulans meraung sepanjang jalan, lebih bising daripada konser rock di stadion.

Api akhirnya padam sekitar pukul 23.20. Pertamina, Damkar Dumai, dan Patra Niaga Region Sumbagut berkolaborasi dalam orkestra darurat. Operasional kilang, katanya, tetap aman. Pasokan Pertalite, Solar, Avtur pun stabil. Tapi warga bergumam, apa gunanya pasokan BBM aman, jika pasokan oksigen tiap hari dibakar?

Kilang RU II Dumai bukan warung bakso. Kapasitasnya 170 ribu barel per hari, menghasilkan Premium, Solar, Avtur, LPG, Propylene, Wax, dan segala macam produk kimia yang bisa meledak kapan saja. Letaknya strategis di Selat Malaka, jalur peradaban global.

Namun strategis tidak berarti aman. Seolah ada tradisi, kilang Pertamina rutin terbakar, Dumai 2023, Balongan 2021, Cilacap 2021, Balikpapan 2022 dan 2024. Pertamina tampaknya bukan sekadar perusahaan energi, melainkan klub eksklusif pecinta api.

Seakan naskahnya sudah ditulis, sehari sebelumnya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berdiri di DPR. Ia menuding Pertamina malas membangun kilang baru, menolak investor Tiongkok dengan alasan “over capacity”. Ia menutup pidato dengan nubuat, “yang ada malah beberapa dibakar.” Besok malamnya, Dumai benar-benar terbakar. Apakah ini kebetulan, atau Purbaya adalah Nostradamus versi APBN?

Realitanya, Indonesia butuh 1,6 juta barel BBM per hari. Produksi domestik cuma 600 ribu, kilang maksimal 1 juta. Defisit 600 ribu barel harus ditutup impor. Maka setiap kali kilang terbakar, impor jadi semakin seksi. Siapa yang tertawa? Para mafia migas, naga tak kasat mata yang berpesta di balik asap.

Pengamat DPR, Mulyanto, terang-terangan bilang, yang bahagia cuma mafia impor. Audit diminta, reformasi diteriakkan, hasilnya nihil. Seolah ada tangan gaib yang mengatur siklus empat bulan sekali, satu kilang harus terbakar agar grafik impor tetap naik dan kantong-kantong tertentu makin tebal.

Ironinya, di saat kilang sibuk gosong, SPBU swasta seperti Shell, BP-AKR, Vivo, dan ExxonMobil malah ogah membeli produk Pertamina. Alasannya? Spesifikasi BBM dianggap “terlalu banyak bumbu penyedap”. Mereka maunya base fuel murni, bukan “BBM siap saji” racikan Pertamina.

Pertamina ngotot jual versi full package, SPBU swasta khawatir brand mereka jatuh seperti kopi sachet oplosan. Akhirnya rakyat menatap dua drama absurd sekaligus, kilang terbakar di hulu, dan SPBU swasta menolak di hilir.

Pertanyaan paling absurd pun lahir, apakah kebakaran ini murni kecelakaan teknis, atau opera api demi impor? Apakah SPBU swasta menolak demi standar mutu, atau sekadar cari alasan agar tak ikut festival asap Pertamina?

Pada akhirnya, rakyat cuma bisa menghela napas di bawah langit hitam, sambil bertanya, apakah Pertamina perusahaan energi, atau sebenarnya panitia festival kembang api tahunan yang sponsornya mafia impor?

#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Share This Article
Exit mobile version