Ahmad Muzani sang Maestro Akhirnya Digusur Juga

FOTO : Benz Jono Hartono [ ist ]

Oleh : Benz Jono Hartono [
Praktisi Media Massa ]

DALAM peta kekuasaan internal Partai Gerindra, nama Ahmad Muzani selama ini berdiri tegak sebagai salah satu tokoh paling strategis.

Ia bukan hanya sekadar Sekretaris Jenderal (Sekjend), tapi juga “jantung ideologis” partai. Muzani adalah sosok yang mengakar di masjid, dekat dengan komunitas Islam, dan menjadi representasi sayap kultural dan religius Gerindra yang selama dua dekade menemani perjalanan politik Prabowo Subianto. Namun, semua memiliki masa waktu.

Jabatan Sekjend Partai Gerindra yang selama ini melekat erat pada Ahmad Muzani kini resmi berpindah tangan akibat gesekan kepentingan dengan Sufmi Dasco Ahmad, politisi kawakan yang dikenal lebih pragmatis, lebih “intelijen”, dan lebih materialistis dalam pendekatan kekuasaan.

*Ahmad Muzani Aktivis Berbasis Masjid *

Ahmad Muzani bukan sekadar politisi. Ia adalah figur yang mewakili aspirasi umat, aktivis yang tumbuh dari kultur dakwah, dan pemikir yang menjembatani antara nasionalisme dan Islam.

Sebagai Sekjend Gerindra sejak awal partai ini berdiri, ia bukan hanya administrator politik, tetapi ideolog lapangan.

Perannya dalam konsolidasi massa, terutama dari kantong-kantong Islam tradisional hingga gerakan 212, sangat vital. Muzani menjadi peredam antara militansi Islam dengan militansi nasionalisme Prabowo.

Tanpa Muzani, Gerindra bisa jadi hanya tinggal nama besar dari seorang “jenderal”.

Namun, dalam politik modern, loyalitas ideologis kerap tumbang di bawah dominasi kalkulasi elektoral.

*Sufmi Dasco Ahmad Praktisi Intelijen Politik *

Manuver Sufmi Dasco Ahmad sebagai Ketua Harian Partai Gerindra menandai titik balik penting.

Dasco bukan aktivis masjid, bukan kader dakwah. Ia datang dari jalur lain, realisme kekuasaan. Latar belakangnya kuat dalam bidang hukum, jaringan bisnis, dan terutama pendekatan intelijen politik.

Dasco mewakili faksi Gerindra yang lebih “technocratic” dan pragmatis, yang mengutamakan peta kekuasaan daripada peta idealisme.

Ia dikenal lihai di parlemen, jago dalam lobby, dan disinyalir dekat dengan banyak aktor intelijen sipil maupun militer.

Maka, pergantian ini tidak sekadar pergantian personil, tapi perubahan arah politik Gerindra secara keseluruhan.

*Makna Pergantian *

Gerindra akan bergeser makin ke tengah, dengan Dasco sebagai Nakhoda Ketua Harian, serta Prabowo sebagai Presiden, arah partai akan condong ke gaya nasionalis pragmatis, menjauhi elemen keumatan yang sebelumnya cukup kuat melalui Muzani.

Politik yang Islami semakin dijauhi, dan Ahmad Muzani adalah representasi “politik Islami moderat” dalam Gerindra.

Digusurnya Muzani bisa dibaca sebagai sinyal bahwa kekuatan Islam berbasis masjid mulai dianggap kurang strategis dalam periode kekuasaan ke depan.

Konsolidasi kekuasaan oleh faksi-faksi istana, serta Dasco dikenal dekat dengan elite pemerintahan, bahkan sebelum Prabowo resmi naik tahta.

Penggantian ini bisa dianggap sebagai langkah “penyatuan barisan” menghadapi tantangan lima tahun ke depan dengan konfigurasi kekuasaan yang lebih stabil.

Berakhirnya era idealisme Gerindra, Partai yang dulunya mengusung semangat keumatan, kemandirian bangsa, dan keberpihakan pada rakyat, kini terlihat mulai merapat pada agenda teknokratik, pro-korporasi, dan stabilitas kekuasaan jangka panjang.

*Penutup*

Musim Berganti Wajah Gerindra Berubah

Maka benarlah adagium bahwa dalam politik, tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan.

Ahmad Muzani, sang maestro ideologis Gerindra, akhirnya harus legowo tersingkir dari panggung utama.

Keputusan ini bukan semata manuver politik, melainkan refleksi dari arah baru partai di bawah Prabowo-Gibran.

Ahmad Muzani keluar dari pusat kekuasaan partai dengan kepala tegak, sebagai simbol perjuangan politik Islami yang mulai terpinggirkan di tengah realitas politik pasca-reformasi yang semakin cair dan liberal.

Sementara itu, Sufmi Dasco Ahmad membawa misi baru, menjaga Gerindra tetap relevan di tengah pragmatisme kekuasaan yang semakin vulgar.

Share This Article
Exit mobile version