Keprihatinan Kampus dan Jusuf Kalla

Oleh : Ketua Satupena Kalimantan Barat, Dr. Rosadi Jamani

INDONESIA sedang tidak baik-baik saja. Istilah ini sering diucapkan Ketum Demokrat, AHY. Itu dulu saat beliau sebelum gabung Koalisi 02.

Sekarang, beliau tak pernah lagi mengucapkannya. Tanda Indonesia sedang baik.

Saya kira istilah itu sudah terkubur dalam. Ternyata muncul lagi. Kemunculannya tidak lagi dari kalangan politisi oposisi, melainkan dari kampus atau kaum intelektual. Kaum terpelajar nan cerdas ini menyatakan, negeri ini tidak baik-baik saja.

Demokrasi mengalami kemunduran. Nepotisme yang diamanatkan reformasi justru hidup kembali. Muncullah keprihatinan kebangsaan di sejumlah kampus.

Kampus yang sudah menyatakan deklarasi atau petisi keprihatinan bangsa, diawali dari sivitas akademika UGM Yogyakarta. Almamaternya Presiden Jokowi. Guru besar, dosen, dan mahasiswa menyatakan selamatkan demokrasi Indonesia.

Bak gayung bersambut, langkah UGM rupanya diikuti Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia, Universitas Hasanudin, Universitas Andalas. Itu yang terlihat di media. Sepertinya akan ada lagi kampus menyusul lakukan hal serupa.

Saya hanya membayangkan, bagaimana seluruh kampus negeri dan swasta kompak melakukan keprihatinan bangsa. Wah, bisa pusing para penguasa di negeri ini. Akankah reformasi jilid 2 terjadi?

Sivitas akademika kampus itu kaum intelektual. Berbeda dengan kaum awam. Kaum intelek ini selalu mengandalkan kekuatan pikiran dalam mencerna problema bangsa dan negara.

Kejernihan pikiran membuatnya berbeda. Hati nurani mereka yang berbicara. Kaum ini sangat sulit dipengaruhi oleh materi. Lho jangan coba-coba nyogok kaum intelektual dengan 100 ribu atau 500 ribu untuk memilih Capres atau Caleg, tak bakalan laku. Paling disenyuminnya.

Kecuali, bagi yang sedang memegang jabatan penting di kampus. Biasanya takut bila diancam jabatannya akan dicopot. Maklum, jabatan itu lebih berharga dari sekadar teriak-teriak keprihatinan. Dosen model ini ada, cuma sedikit. Hanya sedikit yang berkepentingan di dunia kampus.

Tapi, kaum intelektual umumnya, apabila sudah bergerak tanpa kepentingan politik. Kepentingannya hanya untuk bangsa dan negara semata. Baca point-point dari kampus yang sudah deklarasi itu, kepentingannya hanya ingin menyelamatkan demokrasi Indonesia.

Perlu diingat, apa yang kita rasakan hari ini, buah dari perjuangan kaum intelektual, yakni mahasiswa era 1998. Saya ada juga di situ hehehe. Reformasi Indonesia. Amanatnya, hapuskan KKN, supremasi hukum, hapus dwifungsi ABRI, adili Soehaeto.

Nah, kaum intelek melihat di depan mata sendiri, nepotisme yang menjadi amanat reformasi kembali hidup. Wajar apabila mereka meneriakan keprihatinan. Wajar ndak wak?

Satu lagi yang menarik, pernyataan Jusuf Kalla (JK), mantan Wapres dua kali. Saya sedikit tergelitik apa yang dikatakan politisi senior asal Makasar ini. Ia merasa malu melihat Presiden Jokowi membagikan paket Bansos di depan istana. Bansos seperti diobral.

“Kan malu kita,” kata JK di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, Kamis (1/2). JK lalu menyinggung Jokowi yang sempat membagikan beras di depan Istana Kepresidenan Jakarta. Saat itu, Jokowi ditemani Erick Thohir bagi bansos kepada sopir ojol.

“Itu tugasnya Mensos, tugasnya camat,” sambung dia.

Itu saya kutip dari Kumparan. Walau pun beliau masuk Timsesnya 01, namun apa yang dikatakan JK, wajar. Selama ia jadi Wapres, baru kali itu ada presiden obral Bansos depan istana.

Apakah Indonesia sedang kelaparan? Apakah Indonesia darurat pangan? Banyak tafsiran soal aksi Presiden yang dinilai tak biasa itu.

Ah sudahlah wak, negeri kita memang terlihat asyik, masih enak ngopi dan lain sebagainya. Namun, kaum intelektual merasakan ketidakasyikan.

#camanewak