Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
LANGIT Indramayu memerah seperti raut wajah seseorang yang menahan tangis. Di beranda rumah kecil itu, Oki Nukman duduk termenung.
Hati dan pikirannya dipenuhi cemoohan dan serangan yang terus datang. Di layar ponselnya, sebuah video kampanye dari kubu lawan sedang viral.
Sebuah suara menyindir masa lalunya: anak miskin, ditinggalkan keluarga, dan akhirnya diadopsi oleh orang asing.
Oki menghela napas panjang. “Kenapa harus seperti ini, Bu?” katanya lirih pada Bu Lastri, ibu angkat yang telah membesarkannya dengan penuh cinta.
“Seperti apa, Nak?” Bu Lastri mendekat, membelai kepala anak yang sudah seperti darah dagingnya sendiri.
“Kenapa masa lalu saya jadi bahan hinaan? Apa salahnya menjadi anak adopsi? Apa salahnya saya mencoba membuat Indramayu lebih baik?” Air mata Oki tumpah, jatuh membasahi pipinya yang cekung.
Bu Lastri tersenyum lembut, meski matanya ikut berkaca-kaca. “Nak, masa lalu itu ibarat akar. Ia tumbuh di tanah yang keras, tapi darinya pohonmu menjulang tinggi.
Jangan biarkan orang lain menilai hidupmu hanya dari akarnya. Mereka harus melihat buah yang kau hasilkan.”
“Tapi Bu, mereka terus mengorek luka saya. Mereka bilang saya bukan siapa-siapa. Hanya artis kecil yang numpang nama di politik.”
“Nak,” Bu Lastri menggenggam tangan Oki, “kau tahu kenapa ibu mengadopsimu dulu? Karena ibu percaya, anak ini akan tumbuh menjadi seseorang yang besar.
Bukan besar karena kekuasaan, tapi karena hatimu yang penuh keberanian. Jangan takut, Oki. Mereka hanya angin. Kau adalah gunung.”
Sementara itu, di rumah besar keluarga Gustiar, Nemo Gustiar duduk di ruang kerjanya yang mewah. Tim suksesnya berdiskusi sengit tentang strategi kampanye terakhir.
“Pak Nemo, isu tentang masa lalu Oki sedang ramai. Kita harus terus tekan itu!” seru salah seorang anggota timnya.
Nemo mengangguk perlahan, meski hatinya tak sepenuhnya setuju. “Tapi bukankah kita harus menang dengan cara yang lebih elegan?” tanyanya pelan, hampir tak terdengar di antara keramaian.
Pak Gustiar, ayahnya, masuk ke ruangan. “Kalian keluar dulu. Saya ingin bicara dengan Nemo.”
Setelah ruangan sepi, Nemo memandang ayahnya dengan ragu. “Ayah, apa kita harus sejauh ini? Mengungkit masa kecilnya, keluarganya, bahkan statusnya sebagai anak adopsi?”
Pak Gustiar menghela napas panjang. “Nemo, aku tahu kau ingin menang. Tapi ada harga yang tak boleh dibayar, bahkan untuk kemenangan.”
“Ayah, aku merasa kosong. Semua sudah kurencanakan, tapi hati ini seperti tak mendukung langkahku.”
“Itu karena kau melawan seseorang yang memiliki sesuatu yang tak kau miliki, Nemo. Hati yang tahan uji.”
Hari terakhir kampanye, Oki berdiri di atas panggung kecil di tengah lapangan desa. Ribuan warga Indramayu berkumpul, wajah mereka dipenuhi harapan.
Oki menggenggam mikrofon, tubuhnya sedikit gemetar. Tapi ketika ia mulai berbicara, suaranya membelah sunyi.
“Saudara-saudaraku,” katanya, “saya berdiri di sini bukan untuk menyembunyikan masa lalu saya. Ya, saya anak miskin. Ya, saya anak adopsi.
Tapi apakah itu membuat saya tak layak bermimpi untuk kalian? Apa masa lalu saya harus jadi alasan untuk menghentikan langkah ini?”
Kerumunan menjadi hening, hanya terdengar isak tangis beberapa orang.
“Saya tahu, ada banyak di antara kalian yang hidup seperti saya dulu. Hidup di bawah garis kemiskinan, merasa tak punya harapan.
Tapi dengarkan saya! Jika saya, seorang anak kecil yang dulu tak punya apa-apa, bisa berdiri di sini hari ini, maka kalian semua juga bisa bangkit dan meraih mimpi kalian!”
Air mata Oki jatuh, tapi ia tersenyum. “Saya tidak takut pada hinaan. Saya hanya takut tidak bisa menjadi pemimpin yang kalian harapkan.”
Sorak-sorai memenuhi lapangan. Hati warga Indramayu telah dipikat oleh kejujuran Oki.
Malam penghitungan suara, suasana di kedua kubu sangat tegang. Di layar televisi, angka terus bergulir. Ketika hasil akhir diumumkan, nama Oki Nukman disebut sebagai pemenang.
Di rumah besar keluarga Gustiar, Nemo tersenyum kecil. “Dia memang pantas menang,” bisiknya.
Di rumah kecil Bu Lastri, Oki sujud syukur. Air matanya mengalir deras, membasahi lantai. “Terima kasih, Tuhan. Ini bukan untukku, ini untuk mereka yang percaya bahwa harapan selalu ada.”
Langit Indramayu memerah lagi, kali ini bukan karena amarah, tapi karena semangat baru yang menyala di hati warganya.
#camanewak