Oleh : Rosadi Jamani [Ketua Satupena Kalimantan Barat]
SAYA masih ingat ketika Malaysia ingin menaturalisasi Mats Deijl menjadi pemain nasionalnya.
Sayang,, upaya jiran itu ditolak FIFA. Muncul komentar dari netizen +62, katanya IQ lebih tinggi, masa’ tak bisa baca Statuta FIFA. Soal IQ yang mau saya dibicarakan kali ini. Rata-rata IQ orang kita hanya 78.
Sambil menikmati kopi di hutan kota, yok kita bahas, apakah bisa negeri ini maju dengan berbekal IQ 78 itu?
Jika ada negara di muka bumi yang bisa maju dengan IQ rata-rata 78, tak salah lagi, itulah Indonesia. Mengapa perlu repot mengembangkan kecerdasan jika keberuntungan dan keluguan kolektif tampaknya sudah cukup?.
Nah, mari kita bayangkan sebuah formula unik untuk kemajuan: “Membangun Negeri dengan Kecerdasan Pas-pasan.”
Negara-negara maju mungkin sibuk membangun Silicon Valley-nya masing-masing. Namun, Indonesia? Kita lebih suka membangun “Silicon Sawah.”
Buat apa pusing-pusing belajar coding? Nasi sudah jadi beras, dan beras itu lebih bernilai ekonomis dari pada segala aplikasi berbasis algoritma. Ini adalah prinsip ekonomi yang sederhana, tolong jangan dibantah.
Makin rendah tingkat IQ, makin rendah ekspektasi. Filosofi ini secara otomatis mengurangi ketegangan sosial. Ente tidak perlu menjadi Elon Musk untuk sukses.
Cukup pahami “hidup ini misteri.” Biarkan saja rezeki datang seperti hujan di musim kemarau. Sederhana dan menenangkan, bukan?
Jika IQ rendah berarti kita malas berpikir keras. Hal itu juga berarti bahwa kita jarang mengalami kelelahan mental.
Di sini, filsafat “keberadaan minimalis” menemukan artinya. Mengapa memikirkan teknologi yang rumit dan inovasi kompleks? Toh, hidup sederhana dengan pekerjaan serampangan juga bisa membuat kita bahagia.
Kebahagiaan rakyat jelas indikator kemajuan yang lebih mudah dicapai. Filosofi ekonomis ala Indonesia: “Kalau sudah enak, buat apa mikir susah-susah lagi?” Bukankah hidup itu memang untuk dinikmati? Ini adalah langkah brilian untuk mengelola waktu dan menjaga stabilitas mental!
Sejatinya, generasi IQ 78 Indonesia tidak butuh literasi digital rumit. Dalam kondisi apapun, kita sudah pintar memaksimalkan TikTok sebagai pusat edukasi non-formal, dengan tutorial berjoget sambil promosi produk skincare.
Ini adalah bentuk “inovasi digital ala lokal” yang mengubah konten hiburan menjadi ekonomi digital berbasis kreativitas tanpa batas.
Ada teori yang mendukung ini. Konsep “Ekonomi Meme.” Mengingat IQ kita tidak akan mendongkrak GDP, tak perlu memaksa jadi teknokrat.
Mari kita buat saja meme lucu, sebarkan, lalu tinggalkan dampak ekonomi kecil-kecilan. Dengan kata lain, kenaikan indeks ekonomi bisa diraih asal semua orang terus-terusan memproduksi meme.
Ekonom kelas dunia sebetulnya terlalu banyak teori. Kalau IQ 78 jadi standar, kita bisa leluasa membuat kebijakan tanpa beban ideologi. Setiap hari, cukup jalani kebijakan sederhana.
Produksi satu produk nasional yang unik, eksklusif, dan penuh makna. Lupakan industrialisasi besar, karena yang kita butuhkan adalah “industri spiritual.” Kalau perekonomian global butuh branding yang rumit, kita cukup dengan filosofi sederhana, asal bisa dijual, ya jual saja.
Tak perlu repot memikirkan kebijakan teknis yang membuat kepala pusing. Pemerintah cukup membuat produk yang menjual pengalaman hidup sederhana, seperti kolaborasi unik antara sandal jepit dan teknologi IoT. Kenapa tidak?
Masyarakat IQ 78 Indonesia tak butuh menjadi hebat. Filosofi yang dianut adalah “yang penting dikenal dunia.” Kenapa harus pintar? Asal kita punya keunikan yang sulit ditiru, itu sudah cukup! Jepang mungkin terkenal dengan kereta cepatnya, Amerika dengan Apple-nya, sementara Indonesia? Kita bisa terkenal dengan “filosofi tidak perlu pintar untuk bahagia.”
Lagi pula, dengan sedikit kearifan lokal, kita bisa buat seminar internasional, “Cara Hidup Bahagia Tanpa Menjadi Pintar,” dan lihat saja betapa banyak orang asing yang tertarik.
Kesimpulan
Kita tak perlu menggapai bintang atau mendobrak batas teknologi demi menjadi bangsa unggul di mata dunia. Sebagai alternatif, mungkin kita cukup menjadi bangsa yang santai namun “berpikir sederhana,” karena berteori itu melelahkan.
Pada akhirnya, ekonomi berbasis kearifan lokal dengan IQ 78 adalah kemajuan yang damai dan sesuai kodrat.
Anggaplah ini formula khas Indonesia. Jika tidak bisa mempertinggi IQ, maka amplify uniqueness. Bukankah itu juga suatu bentuk kemajuan?
#camanewak