Peluang Figur Perempuan di Pilkada Sambas 2020

Perhelatan Pilkada serentak di Kalbar yang dijadwalkan September 2020 diselenggarakan di tujuh kabupaten meliputi Kabupaten Sambas, Sintang, Ketapang, Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Melawi serta Sekadau.

Dari 14 kabupaten/kota se-Kalbar, hanya Kabupaten Sambas yang pertama kali memiliki sejarah masuknya figur perempuan sebagai Kepala Daerah maupun Wakil Kepala Daerah, disusul Kabupaten Landak.

Juliarti Djuhardi Alwi yang mula-mula memecahkan rekor sebagai perempuan pertama di Kalbar yang mendapat kepercayaan sebagai Bupati Sambas dalam pemilihan langsung pada 2011.

Dokter yang sebelumnya menjadi Kepala Dinas Kesehatan ini masuk ke kancah politik setelah digandeng menjadi wakil bupati oleh Burhanuddin A Rasyid pada Pilkada 2006.

Namun karirnya tamat ketika mencalonkan diri lagi pada periode berikutnya lantaran dikalahkan pendatang baru saat itu yakni Atbah Romin Suhaili.

Atbah diuntungkan oleh momentum munculnya periodisasi yang menjadi puncak kejenuhan politik lokal kala itu sehingga iapun melenggang menjadi Bupati Sambas.

Keberhasilan Atbah itupun tak terlepas dari munculnya sosok perempuan yang mendampinginya memangku amanah untuk masa bhakti 2016-2021.

Perempuan itu adalah Hairiah, seorang aktivis sekaligus pegiat perempuan untuk keadilan yang juga mantan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Kondisi politik lokal di Kabupaten Sambas memang cukup dinamis meskipun para pemilihnya mayoritas homogen. Ruang bagi perempuan untuk berkiprah juga cukup besar dan tidak menjadi kata tabu.

Bisa saja dipengaruhi oleh sex ratio yang terpaut sedikit saja antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan berkisar 326.481 berbanding 310.134. Pertanyaan mendasar, apakah pada Pilkada 2020 perempuan di Kabupaten Sambas masih berpeluang?

Untuk menguliti hal ini, sangat dimungkinkan menggunakan parameter yang terukur melalui riset atau survey. Namun dari sisi empirik seharusnya figur perempuan memiliki ruang dan peluang yang besar menjadi bupati maupun wakil bupati, seperti halnya peluang menjadi legislator yang ditunjukkan Juliarti setelah kandas berkompetisi di periode keduanya dan banting setir di Pilegislatif 2019 hingga terpilih menjadi Anggota DPRD Provinsi Kalbar.

Setidaknya jalan bagi incumbent/petahana, Atbah memiliki beberapa opsi antara lain membuang jauh-jauh figur perempuan yang berarti tidak lagi berpasangan dengan Hairiah ataupun figur perempuan lainnya. Opsi lainnya, ia mencalonkan kembali dan tetap berduet dengan Hairiah atau mencari figur perempuan lain pada pertarungan mempertahankan kedudukannya saat ini.

Pasca Juliarti yang dilanjutkan dengan Hairiah sebagai dua srikandi petarung memang tidak banyak lagi figur yang menjadi simbol keterwakilan perempuan.

Tetapi ada satu srikandi lagi yakni Rubaeti Erlita yang justru telah digadang-gadang bahkan melalui timnya didaftarkan ke beberapa Parpol. Rubaety baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai senator di DPD-RI periode 2014-2019. Ia memiliki suara potensial sangat besar mewakili perempuan Kalbar hingga lolos ke DPD-RI dengan mengantongi 139.856 suara pada Pemilu 2014 lalu.

Meskipun non partisan, Rubaety merupakan figur yang getol membina konstituennya pada basis massa di Kabupaten Sambas. Ia juga memiliki kedekatan dengan parpol terutama Golkar lantaran secara politis identik dengan suaminya, Prabasa Anantatur, legislator Provinsi Kalbar yang juga mantan Wakil Bupati Sambas di era Burhanuddin A Rasyid.

Peluang siapa saja perempuan yang masuk di bursa Pilkada Sambas sepertinya terkunci oleh dua figur tersebut yang semuanya mantan Senator yaitu Hairiah di posisi petahana dan Rubaety. Selebihnya figur kalangan laki-laki selain Atbah sudah banyak bermunculan diantaranya dari kalangan ASN seperti Hardin Direktur Rumah Sakit Pemangkat, Hero Kabid Disnaker, Rofi dan Satono. Dari kalangan TNI muncul nama Letkol Hendri, veteran Dewan Sambas Misni Safari, bahkan Mursalin salahseorang jurnalis mulai tampil. Satu-satunya dari internal partai yang terpilih menjadi legislatif dan berniat maju adalah Dede Arifidiar.

Selain persoalan gender ini, petahana juga tidak terlepas dari penantang baru yang merupakan figur lama maupun baru yang dianggap kredibel dan mumpuni secara popularitas, akseptabilitas dan memiliki tingkat kesukaan tinggi dari para calon pemilih. Hambatan lainnya, prosentase perolehan suara Parpol yang tidak ada peraih suara mayoritas sehingga harus berkoalisi untuk mencapai 20% suara atau minimal 9 kursi di parlemen Sambas.

Opsi Kursi Parpol

Kenyataannya pada Pemilu 2019, total kursi legislatif berjumlah 45 orang yang menempatkan Gerindra pada posisi teratas dengan meraih 7 kursi, disusul PDIP 6 kursi, Golkar 6 kursi dan Nasdem 5 kursi. Sedangkan PKS, PAN dan PKB meraih perolehan masing-masing 4 kursi, Hanura dan Demokrat masing-masing 3 kursi, sisanya PPP 2 kursi dan 1 kursi Perindro.

Asumsi jumlah dukungan suara parpol tersebut akan terbentuk maksimal 5 pasang calon, namun tergantung kekuatan melobi parpol untuk memperkecil jumlah calon yang idealnya terbentuk 3 pasangan calon.

Kondisi ini memungkinkan munculnya koalisi gemuk yang cenderung boros secara cost politic tetapi cukup strategis jika PKS berkoalisi dengan Gerindra dan PAN (15 kursi), Di kubu lawan dengan motor utama penggeraknya PDIP merangkul Hanura, PKB, PPP dan Perindo (16 kursi). Sisanya untuk sepasang calon diinisiasi Golkar yang berkoalisi dengan Nasdem dan Demokrat (14 kursi).

Koalisi memang masih bisa dikotak-katik dan sangat dinamis dengan mempertimbangkan faktor finansial yang bukan lagi rahasia berapa dihargai untuk setiap kursi. Misalnya saja ketika figur internal Gerindra yang tiba-tiba ngotot memajukan jagoannya dan hanya tinggal menambah dua kursi saja, meskipun partai ini kurang begitu memiliki figur kuat untuk calon kepala daerah.

Maka koalisi strategis tersebut akan buyar sehingga menambah peluang menjadi 4 pasang calon. Atau opsi lainnya yang masih serba memungkinkan seperti lahirnya kekuatan koalisi anomali Golkar dan PKS (10 kursi).

Namun, melihat komposisi pimpinan Parpol di daerah yang telah menjadi anggota Dewan, maka potensinya sangat kecil untuk mengajukan calon dari internal Parpol karena terkendala aturan yang mengharuskan untuk mundur dari jabatan sebagai legislatif jika ingin melaju menjadi calon di Pilkada.

Terkecuali bagi figur yang benar-benar petarung dan memiliki kans kuat untuk menang. Fenomena ini menyebabkan dukungan Parpol akan terbuka bagi figur di luar struktur Parpol atau mereka yang bukan legislator.

Idealnya sebuah suksesi Pilkada, bagi calon pemilih memang bukan sebatas keharusan siapa yang harus menang dan dimenangkan. Melainkan lebih kepada keberpihakan figur kepada publik. Rekam jejak masing-masing figur yang masuk dalam bursa Pilkada Sambas telah lebih banyak dikantongi masyarakat di wilayah berjuluk “Serambi Mekkah” itu. Bagi incumbent tentunya ada penilaian tersendiri diluar penilaian formal dalam bidang pengelolaan keuangan daerah, pencapaian target program, visi-misi dan seabrek persoalan terkait komunikasi publik selama ini. Bagi figur pendatang baru justru menjadi tantangan yang mutlak dilandasi semangat pembaharuan ke arah lebih baik.

 

 

Penulis : R  Ridho Ibnu Syahrie